Rabu, 23 Januari 2013

Jokowi: Kalau Ada Daun Jatuh di Cilincing, Saya harus Tahu

Pada 15 OKtober 2012, Jokow Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama dilantik menjadik Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakaqrta periode 2012-2017. Begitu dilantik, Jokowi dan Ahok, begitu kedua pemimpin itu biasa disapa, langsung menggebrak. Keduanya turun lapangan, mendatangi warga, merasakan denyut rakyat, dan rapat siang-malam untuk menuntaskan masalah-masalah kronis Jakarta. Pada 23 Januari 2013 ini tepat 100 hari usia kepemimpinan Jokowi-Ahok. Apa saja langkah Jokowi, apa kendala dan berbagai yang ia siapkan, nukilan wawancara Jokowi kepada reporter Metro TV Prisca Niken:

Tanya (T): Bagaimana program 100 hari setelah mengepalai Jakarta? Apalagi karakteristik Solo dan Jakarta kan berbeda?

Jawab (J): Saya tidak punya 100 hari, satu hari atau 1.000 hari. Yang penting adalah bagaimana saya bekerja sebaik-baiknya. Saya ditugaskan dari rakyat untuk bekerja baik. Sabtu dan Minggu, kalau ada masalah saya tetap kerja. Kalau dilihat perbedaan, ya sama saja. Kalau musim panas ya panas. Cuaca di Solo dan Jakarta sama saja. Jika di sana pas musim hujan, ya di sini musim hujan.

Hanya cara mengelola masalah itu harus diterminate dengan baik. Sebagai orang baru tentu saja saya harus menguasai medan, menguasai masalah, dan menguasai persoalan. Itu sebabnya saya selalu ke lapangan. Saya ingin bekerja detail. Ibaratnya, ada daun jatuh di Cilincing, ada daun jatuh di Penjaringan, ada daun jatuh di Setu Babakan, serta ada daun jatuh ke Kampung Melayu, saya dengar. Itu yang saya inginkan.

Jangan sampai saya membuat kebijakan, tapi saya tidak menguasai permasalahan. Itu yang selalu saya berusaha sekeras-kerasnya, agar saya selalu mendengar apa yang menjadi keinginan masyarakat.

Apa saya harus duduk di kantor untuk tandatangan kertas. Atau kemudian dapat laporan dari bawahan saya, yang semuanya berisi laporan baik-baik saja. Atau apa yang disebut dengan ABS (asal bapak senang), apa itu yang saya lakukan? Kan tidak. Jika saya datang ke suatu kampung pasti ada datanya, bukan seperti jalan-jalan. Hanya tak mungkin saja disampaikan. Ada yang saya sampaikan terbuka kepada masyarakat. Ada juga yang tidak, dan nantinya bisa menjadi kebijakan.

T: Apakah itu tidak menyita waktu?

J: Lah kok ke sita! (nada tinggi). Saya ke sana kan juga bekerja dalam rangka mendengar keinginan masyarakat, dalam rangka melihat problem, melihat masalah. Memang waktunya habis di situ, tapi kan pembagian kerja tetap ada. Setiap hari ada wakil gubernur, ada Sekda, dan ada asisten. Untuk apa saya harus duduk di kantor terus. Saya tanda tangan setengah jam juga sudah rampung.

T: Budaya tersebut kan sudah bapak lakukan selama delapan tahun?

J: Ya, memang sudah selama delapan tahun saya lakukan dengan cara-cara ini. Dan itu tak ada masalah di manajerial, manajemen. Secara birokrasi alhamdulillah tidak masalah.

T: Blusukan bapak ke kampung-kampung menghasilkan dua gebrakan paling besar, Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar? Kenapa dua gebrakan itu yang dipilih?

J: Itu kebutuhan dasar, kebutuhan dasar rakyat kita. Kalau sebelumnya ada yang ngomong kesehatan dan pendidikan gratis, lah sistemnya kaya apa? Mengucurkah uang itu ke masyarakat secara real? Faktanya sejak ada Kartu Jakarta Sehat lonjakan ke Puskesmas meningkat antara 40 persen hingga 70 persen di sejumlah wilayah. Itu artinya, sebelum itu mereka sakit, tapi ditahan karena tidak punya biaya.

Ini sistem yang kita bangun itu sistem. Bukan hanya omomngan kesehatan dan pendidikan gratis, realnya seperti apa. Bila cara mengakses atau mendapatkannya sulit, ya untuk apa. Wong anggarannya ada tapi masyarakat tidak bisa mengakses, ya untuk apa.

T: Berarti yang dulu belum tepat sasaran juga?

J: Ya itu sistem yang harus dibangun. Ini sistem kartu. Nanti kartu itu suatu saat bisa digunakan untuk hal-hal lain. Kan masih satu kepentingan, karena ada chipnya bisa digunakan untuk hal lain.

T: Nanti sistemnya terintegrasi?

J: Ya, terintegrasi. Yang jelas ada sistemnya dulu.

T: Apa sih yang mau dibenahi dari Jakarta?

J: Semuanya yang belum baik, semuanya perlu diperbaiki. Fakta dan realitasnya Jakarta sudeh ruwet dan kronis, kita harus omong apa adanya. Tapi seperti banjir jangan menjadikan kita pesimis, harus optimis. Kita jangan menyerah.

Banjir di Jakarta itu ada sejak tahun 1932, diselesaikan tahun 1938 dengan dibangun Kalan Banjir Barat. Lalu tahun 2004 dibangun Kanal Banjir Timur. Kita harus konsistensi dan fokus terhadap dua masalah, macet dan banjir sehingga bisa terselesaikan.

Tapi itu perlu proses dan perlu waktu. Jangan baru tiga bulan, Pak masih banjir. Kaya saya dewa atau superman saja. Ya ngga bisa seperti itu dong.

T: Optimis Jakarta bisa selesai dari masalah-masalah?

J: Loh loh, ini kan masalah kelihatan. Negara lain bisa kenapa kita tidak bisa. Negara lain, kejadian sudah ada dan terselesaikan. Kan kelihatan mata semuanya. Tapi jangan nuntut terlalu tinggi ke saya. Saya baru tiga bulan, beri waktu saya.

T: Masyarakat memberi waktu dan kepercayaan?

J: Sekali lagi perencanaan sudah ada. diperlukan tambahan untuk terobosan. Saya berikan contoh, proyek Mass Rapid Transportation (MRT) itu rencananya sudah sejak tahun 1986. Kenapa nggak diputuskan, kan dari dulu sudah punya. Kalau saya disuruh buat studi lagi yang ada saya putuskan. Tapi jangan lantas ngomong itu idenya gubernur yang lalu, ya jangan seperti itu dong. Apa saya harus membuat ide sendiri dan membuat suatu kajian.

Sumber :
metrotvnews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar