Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukan
satu-satunya presiden yang menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM)
bersubsidi setelah keputusan menaikkan harganya.
Presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun pernah melakukan hal yang sama.
Dari catatan Kompas.com,
pada 24 Mei 2009, harga bahan bakar jenis premium bersubsidi naik
menjadi Rp 6.000 dari harga Rp 4.500. Pemerintah kala itu kemudian
menurunkan harga premium secara bertahap, yakni pada Desember 2009 dan
Januari 2009 hingga harganya kembali Rp 4.500.
Peneliti dari
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Adjie Alfaraby, Minggu (11/3/2012)
menjelaskan, penurunan harga BBM ketika itu dijadikan alat untuk meraih
simpati publik. Penurunan harga itu, kata dia, diklaim Partai Demokrat
sebagai keberhasilan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Penurunan
dua kali harga BBM ditambah program bantuan langsung tunai pada tahun
2008 dan 2009 membuat Partai Demokrat menanjak dari papan tengah di
Pemilu 2004 menjadi pemenang Pemilu 2009.
Kemarin, Rabu
(31/12/2014) para menteri Kabinet Kerja menyampaikan pemerintah
menurunkan harga BBM bersubsidi jenis premium, dan memberikan subsidi
tetap Rp 1.000 per liter untuk jenis solar. Lantas, apa beda penurunan
premium era SBY dan Jokowi?
Direktur Indonesia Resources Studies
(IRESS) Marwan Batubara mengungkapkan, sebetulnya Jokowi tidak
menurunkan harga BBM bersubsidi, karena memang sudah tidak ada subsidi.
Premium tidak perlu lagi mendapatkan subsidi sebab harga minyak dunia
sangat rendah.
“Waktu SBY, harga premium itu turun tapi
pemerintah masih memberikan subsidi. Era Jokowi ini saya lebih
melihatnya, ini diturunkan karena faktanya harga belinya sendiri lebih
rendah dari harga jual. Kalau pemerintah tidak menurunkan harga premium,
pemerintah malah ambil keuntungan. Kondisi objektif inilah yang membuat
dia (Jokowi) harus menurunkan,” jelas Marwan, dihubungi Kompas.com, Rabu petang.
Marwan
mengatakan, jika dengan menurunkan harga BBM bersubsidi Jokowi
memperoleh simpati dari masyarakat, maka hal itu merupakan bonus di
tengah merosotnya harga minyak dunia. “Kalau masalah citra politis, itu
bonus. Tapi secara faktual dia harus menurunkan,” imbuhnya.
Marwan
juga tidak melihat adanya desain pemerintah sengaja menaikkan harga BBM
bersubsidi setelah pelantikan Jokowi, untuk kemudian menurunkannya lagi
sebagai “kado tahun baru”. Waktu itu, pemerintah memang harus menaikkan
harga BBM bersubsidi lantaran subsidinya sudah terlalu besar.
Pemerintah pun memiliki sejumlah agenda pembangunan yang memerlukan
keleluasaan ruang fiskal.
“Salahnya, waktu itu pemerintah tidak
melihat trend bahwa harga minyak dunia akan melorot di akhir tahun.
Padahal sudah ada banyak kajian dari berbagai lembaga keuangan global
pada Apri;-Mei. Kalau pemerintah melihat itu, mungkin saja pemerintah
tidak perlu menaikkan (pada November ),” pungkas Marwan. [kompas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar