Pengamat komunikasi politik Ari Junaedi menilai pemberitaan televisi terutama TVOne sudah jauh dari kadar jurnalistik yang benar.
Ari melihat Pemberitaan sengaja disiarkan secara terpotong-potong tanpa ada keutuhan sebuah berita. Contohnya, kata dia, terkait pernyataan Jusuf Kalla (JK) yang dilontarkan ketika Joko Widodo (Jokowi) baru beberapa bulan menjabat Gubernur DKI Jakarta. Itu disiarkan berulang-ulang tanpa dijelaskan kapan konteks omongan JK diucapkan.
Demikian juga dengan kasus bus Trans Jakarta yang berkarat. Menurut dia, kabar burung Jokowi yang akan dipanggil Kejaksaan Agung terus diblow up TVOne tanpa menyiarkan sanggahan pihak Kejakgung.
"Yang lebih dahsyat lagi, TVOne sengaja menampilkan pengamat yang menyerang Jokowi-JK tapi cukup lembut bahkan yang memuji Prabowo - Hatta,"ucap Ari Junaedi kepada Tribunnews.com, Minggu (1/6/2014). .
"Kalau mau fair, sebaiknya juga ditayangkan pernyataan Amien Rais tanggal 2 September 1998 yang menyebut Prabowo Subianto harus diseret ke Mahkamah Militer untuk mengetahui motif penculikan terhadap aktivis pro demokrasi," tambah Ari.
Selain itu, menurut pengajar program pascasarjana di Universitas Indonesia (UI) ini, Metro TV juga melakukan liputan yang terlalu memihak kepada pasangan Jokowi-JK. Namun, menurutnya, kadar penyimpangannya tidak sefatal TVOne.
Namun, Ari ingatkan, profesi jurnalis mencita-citakan pada keberpihakan yang benar, bukan yang membayar. Yakinlah, kekuatan independensi jurnalis pada akhirnya tidak bisa dibungkam.
"Pengalaman reformasi sepanjang tahun 1997-1998 telah membuktikan penguasa-penguasa media yang juga kroni-kroni Soeharto justru ikut berperan menumbangkan Orde Baru,"tandas Ari Junaedi yang juga dosen S2 di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini.
Karena itu, dia meminta Komisi Penyiaran Indonedia (KPI) harus lebih bertaji dalam menegur isi penyiaran televisi yang bertendensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Seperti omongan yang menyebut pilpres layaknya perang Badar harus distop.
"Tidak pantas omongan orang yang selama ini kita hormati sebagai motor reformasi disiarkan berulang-ulang," tuturnya.
Selain itu, terkait kasus pemukulan jemaah kebaktian di Sleman, Yogyakarta harusnya menjadi akhir dari upaya memecah belah. Pun pernyataan Prabowo yang menyebut kubunya Pandawa dan pihak lain Kurawa juga sangat melecehkan harkat dan kemanusian.
"Tidak diucapkan pun, kita sudah tahu kok mana yang Pandawa dan mana yang Kurawa selama kita tidak pikun dengan sejarah bangsa sejak reformasi, lumpur Lapindo, kasus tabrak lari, kasus rasuah sapi, kasus korupsi Haji bahkan kasus suap di sistem komunikasi radio terpadu di kementerian kehutanan,"sergah penulis disertasi pelarian politik tragedi 1965 di mancanegara ini. [tribun]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar