Melihat kelakuan sejumlah media pada saat sebelum dan sesudah pemilu ibarat melihat jalannya roller coaster, mudah naik dan mudah turun. Ia berguling-guling mengikuti jalur yang telah disediakan. Berguling-guling dan mudah jatuh bangun, itulah juga kelakuan sejumlah media partisan pada masa setelah Pemilu Legislatif April 2014 ini.
Penuturan sejumlah pihak yang terlibat dalam media partisan memberikan informasi kepada penulis bahwa ada perintah jelas dan tegas dari pucuk pimpinan media untuk membela kepentingan pemilik media yang sekaligus tokoh pimpinan partai politik tertentu.
Perintah tersebut ditambahi semacam permohonan: ”Tolonglah kami ini paling tidak sampai bulan April saja.”
Cerita dari dalam tersebut penulis terima dua bulan sebelum pemilu legislatif tiba, dan bisa dibayangkan bahwa perintah seperti ini sudah lama berjalan, dan itu terbukti dari isi layar kaca stasiun televisinya.
Selain itu, dalam stasiun TV yang sama ada perintah bahwa sosok Joko Widodo (Jokowi) yang banyak unggul dalam berbagai survei diharamkan untuk tampil di layar stasiun TV yang bersangkutan. Alasannya? Sebab, sosok Jokowi sudah unggul di mana-mana dan tak perlu lagi diangkat. Sebaliknya sang bos yang merasa kalah populer dengan Jokowi ingin stasiun televisi miliknya semakin mengangkat dirinya.
Kita pun tahu kandidat pemilihan umum lainnya telah menggunakan segala daya upaya untuk mengangkat popularitas calon presiden dan calon wakil presiden lain.
Stasiun televisi terbesar di Indonesia telah menggunakan macam-macam cara untuk mengangkat elektabilitasnya lewat aneka program yang ada, apakah itu pemberitaan, reality show, iklan, kuis, dan lain-lain. Belakangan satu-dua acara pun ketahuan menunjukkan sisi rekayasanya.
Sesudah pemilu
Pemilihan umum legislatif sudah usai dan sejumlah hasil hitung cepat menunjukkan bahwa PDI-P mendapatkan suara terbanyak dalam pemilu legislatif. Sebaliknya, sejumlah partai politik yang selama ini telah menyalahgunakan frekuensi publik untuk kepentingan politik pemiliknya tak sanggup membendung popularitas partai yang mengusung Joko Widodo sebagai calon presidennya (dengan perolehan suara 19,6 persen). Sementara itu, Golkar meraih suara 14,9 persen, Nasdem meraih 6,8 persen, dan Hanura meraih 5,1 persen dari total suara yang ada (semua merujuk pada hasil Hitung Cepat Litbang Kompas yang dipublikasikan 10 April 2014).
Dengan komposisi demikian dan juga arah menuju koalisi mulai mengerucut, wajah media massa partisan pun perlahan-lahan berubah. Media yang tadinya mengharamkan wajah Jokowi tampil di medianya kini tak malu-malu mengusung wajah populer tersebut karena angin politik kini sudah berubah arah. Disangkanya publik mudah lupa dengan pergeseran ”ideologi” dari media semacam ini dari yang ”oposisi” terhadap Jokowi menjadi ”pro” kepada Jokowi.
Sementara ini nasib lain kini dihadapi oleh Hary Tanoesoedibjo, raja media MNC Group yang juga cawapres Partai Hanura. Karena perolehan suaranya kurang meyakinkan, kini posisi Hary Tanoe di internal partai mulai dipertanyakan. Kita pun tahu bahwa semua media yang ada dalam grup ini dimobilisasi untuk mendukung kepentingan pemilik media dan politisi tersebut. Pengerahan karyawan untuk memadati acara temu akbar partai sehari sebelum masa kampanye berakhir juga banyak dicerca dalam media sosial.
Kembali ke prinsip dasar: independensi
Sulit membayangkan perasaan dan pikiran dari mereka-mereka yang kemarin menjadi media partisan, dan hari-hari ini melihat kenyataan bahwa efek yang dihasilkan dari bombardir informasi kemarin itu tidaklah sesuai dengan perolehan suara dalam pemilu. Bagaimanapun juga intensitas pemberitaan ataupun tampilan di media tak berpengaruh langsung atas hasil perolehan suara. Bagaimanapun juga realitas media (partisan) berbeda dengan realitas yang ada dalam kepala para pemirsa, penonton, ataupun publik secara umum.
Saluran informasi yang beragam pada saat sekarang membuat masyarakat akan bisa mendapatkan informasi tak hanya pada satu macam saluran informasi, tetapi ia juga bisa mendapatkan dari berbagai sumber. Memverifikasi ataupun memilah informasi mana yang lebih akurat adalah pekerjaan rumah berikutnya. Namun begitu, harus diakui bahwa publik atau warga negara yang terlibat dalam pemilu kemarin tak semata pemirsa tayangan televisi. Ia adalah warga negara yang cerdas yang mampu mengolah dan menyaring informasi yang ia mau konsumsi.
Bagaimanapun apa yang ditampilkan dalam media (apalagi media yang partisan) pastilah selalu positif terhadap sosok kandidat tersebut (apalagi jika ia adalah pemiliknya sekaligus politisi yang ikut bertarung dalam pemilu). Masyarakat mengimbangi informasi bias tersebut dengan informasi lain yang lebih netral dan untuk itu maka apa yang telah dikerjakan oleh para kandidat jauh lebih penting daripada pencitraan yang telah dihasilkan oleh media-media yang bias.
Mungkin ini juga suatu hukuman sosial kepada media yang partisan kepada kepentingan pemiliknya, dan syukurlah rasionalitas masyarakat luas telah menunjukkan kedigdayaan atas intervensi terlalu besar dari para pemilik media untuk menghasilkan berita yang semata-mata positif bagi kepentingan pemilik medianya.
Oleh karena itu, penting kepada media-media mana pun untuk selalu menjaga independensi karena reputasi media akan ditentukan dari independensinya, dan bukan dari faktor dekat atau tidaknya ruang redaksi dengan perintah sang majikan utama. Hidup suatu media yang independen akan lebih panjang dari riwayat rezim mana pun. Dan, jika mau hidup dan dihormati terus ke depan, media harus kembali pada nilai dasarnya: independen. [Ignatius Haryanto, Peneliti Media di LSPP, Jakarta/kompas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar