Pemilu legislatif sudah selesai dilaksanakan, namun dari penghitungan
cepat tidak ada satu pun partai politik yang bisa mengajukan capres
sendiri, karena semua tidak memenuhi syarat 25 persen suara sah
nasional. Oleh sebab itu mengharuskan setiap partai politik membentuk
koalisi. Namun sampai saat ini peta koalisi belum ada satu pun yang
mengkristal, seluruh partai yang mau berkoalisi masih bersifat cair.
Lalu
kemana arah koalisi lima partai-partai yang berbasis massa Islam?
Apakah mereka akan bergabung dengan PDI-P yang mengusung Joko Widodo
sebagai capres? Atau mereka menjatuhkan pilihan berkoalisi dengan Golkar
yang mengusung Aburizal Bakrie sebagai capres, atau malah malakukan
sinergi dengan Gerindra yang mengusung capresnya Prabowo Subianto? Atau
bisa juga adanya gagasan koalisi poros tengah Jilid II, atau Koalisi
Indonesia Raya? Hal tersebut bisa saja menjadi suatu alternatif.
Sampai
saat ini kini belum ada sinyal yang kuat yang mengindikasikan kemana
parpol-parpol yang berbasis massa Islam akan berlabuh, karena peta
koalisi masih sangat cair. Bahkan PDIP sebagai pemenang quick count yang
diprediksi akan kebanjiran rekan koalisi ternyata baru menggandeng satu
partai yaitu Partai Nasdem. Koalisi yang akan dilakukan parpol
merupakan isu sentral dalam banyak pembicaraan publik selepas pemilu
legislatif 9 April yang lalu.
Berkaitan dengan pembicaraan
tentang koalisi, hal ini tidak boleh dibiarkan hanya menjadi kepentingan
para elite. Koalisi harus ditempatkan pada wacana publik dan untuk
kepentingan publik. Artinya, dalam konteks ini, publik harus mencermati
dan menilai bagaimana para elite itu bermanuver dalam pembentukan
koalisi politik mereka, yang dilakukan untuk menentukan pasangan
kandidat pemimpin tertinggi eksekutif di negara ini. Kalangan masyarakat
madani perlu mengawal agar tujuan pembentukan koalisi tetap dalam
lingkup public interest, bukan elite interest.
Saya kira penting
bagi media massa, para aktivis media sosial, intelektual, mahasiswa,
dan para pengamat untuk bersikap kritis terhadap pembentukan koalisi
dari sejumlah kekuatan partai politik yang ada. Dapat dipastikan mereka
akan tampil dalam pemilihan Presiden 9 Juli mendatang, oleh sebab itu,
yang perlu dipertanyakan, apakah hal itu berorientasi publik atau tidak?
Isu
utama koalisi saat ini tidak boleh dibiarkan berkisar tentang siapa
yang harus dipasangkan dengan calon presiden tertentu dan tidak pula
boleh dibiarkan hal ini hanya berbicara tentang partai apa yang
bergabung kepada partai apa, lalu, berapa poros yang akan hadir dalam
konstestasi calon Wakil Presiden dan calon Presiden 9 Juli mendatang.
Sebab, ketika hanya berbicara masalah itu, tidak akan ada titik temunya
dengan kepentingan publik.
Kita harus mengupayakan bahwa koalisi
yang terbentuk akan memberi ekspektasi positif tentang Indonesia
kedepan atau 2014-2019. Sebagai contoh, apa kontribusi koalisi yang
terbentuk terhadap masalah kesejahteraan rakyat, khususnya dalam aspek
kesenjangan sosial yang semakin tajam dan penurunan angka kemiskinan
yang subtansial? Perlu disadari, garis kemiskinan yang kita pakai
sebagai dasar perhitungan angka kemiskinan tidak mencerminkan
kesepakatan pandangan dunia tentang kemiskinan yang sesungguhnya
terjadi.
Dengan berbicara koalisi tadi, partai-partai yang berbasis massa Islam
yang hampir pasti lolos PT (parliamentary threshold) sekitar 33 persen,
namun sampai saat ini belum ada satu partai pun yang secara transparan
akan berkoalisi dengan siapa. Pertemuan partai-partai dan ormas Islam di
rumah pengusaha almarhum Hasyim Ning tidak mengisyaratkan apa-apa,
apakah akan mendukung Jokowi, Aburizal Bakrie, Prabowo atau akan
membentuk suatu koalisi alternatif, seperti yang dilontarkan Amien Rais
dalam pertemuan partai-partai Islam, yaitu Koalisi Indonesia Raya.
Diperkirakan
PKB akan mengarah koalisinya ke PDI-P, karena kalau mau berkoalisi
dengan Gerindra tidak akan mungkin karena ada Yenni Wahid di dalamnya,
namun belakangan ini terlihat PKB mulai mengambil jarak lantaran
pernyataan Jokowi yang tidak menginginkan koalisi bagi-bagi kursi atau
koalisi transaksional. Sementara PPP yang tadinya sudah tegas mendukung
Prabowo, belakangan dibatalkan oleh sejumlah pengurus teras partai
tersebut, akibat terjadinya konflik di internal partai, bahkan disusul
dengan penonaktifan Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali dalam Rapimnas
PPP yang digelar pada Sabtu malam 19 April 2014.
Menurut kaca
mata penulis partai-partai yang berbasis massa Islam pada akhirnya akan
lebih memilih berkoalisi dengan Partai Gerindra dari pada dengan PDI-P
atau Partai Golkar. Hal ini disebabkan beberapa faktor yang membuat
peluang Partai Gerindra lebih didukung oleh partai-partai berbasis Islam
daripada PDI-P dan Golkar.
Pertama, secara ideologis platform
Partai Gerindra lebih bisa diterima bahkan didukung oleh partai-partai
Islam, karena Partai Gerindra yang menonjolkan nasionalisme dan anti
dominasi asing, hal ini lebih pas dengan aspirasi sebagian besar
konstituen partai-partai berbasis massa Islam. Kedua, dilihat dari
sejarah, tidak pernah ada friksi antara partai-partai berbasis massa
Islam dengan Prabowo Subianto secara pribadi maupun dengan Partai
Gerindra. Perlu diketahui saat masih aktif di dinas kemiliteran Prabowo
Subianto dikenal sebagai sosok perwira yang selalu membela kepentingan
ormas-ormas Islam yang dimarjinalkan rezim Orde Baru.
Ketiga,
dengan adanya sikap PDI-P yang katanya tidak menghendaki koalisi
transaksional secara tidak langsung menguntungkan posisi Partai
Gerindra, di mana Prabowo akan menjadi alternatif bagi partai-partai
yang kecewa terhadap sikap Jokowi dan PDI-P. Dari ke empat partai Islam
yang kemungkinan lolos PT, diperkirakan hanya PKB yang tidak akan
berkoalisi dengan Partai Gerindra, karena ada musuh bebuyutan Muhaimin
di dalam partai Gerindra.
Hasil Rapimnas PPP tanggal 19 April
2014 malam menganulir dukungan PPP kepada Prabowo, bacapres dari Partai
Gerindra, pada hal tanggal 18 April 2014, Ketua umum DPP-PPP memberikan
dukungan kepada Prabowo. Pembatalan dukungan itu menjadikan posisi
Prabowo cukup kritis, karena batalnya dukungan PPP tersebut, maka Partai
Gerindra masih sendirian, padahal mereka membutuhkan tambahan sebanyak
13 persen suara lagi untuk mengusung Prabowo menjadi capres. Artinya,
Partai Gerindra memerlukan dukungan dari 2 partai lagi, agar mencukupi
25 persen suara nasional.
Kalau dilakukan koalisi antara Partai
Gerindra dan Demokrat tidak saja akan meredupkan popularitas calon
presiden dari PDI Perjuangan Joko Widodo, namun juga akan menjadi daya
tarik bagi partai-partai berbasis massa Islam. Masalah aktivitas
penjajakan koalisi oleh sejumlah parpol pasca pemilihan anggota
legislatif pada April lalu. Menurut penulis, Partai Demokrat akan lebih
nyaman berkoalisi dengan Partai Gerindra, karena berbagai alasan, salah
satu alasannya adalah karena popularitas capres Prabowo Subianto lebih
mempunyai nilai jual, selain komunikasi politik dengan PDI-P cukup sulit
dilaksanakan. Sampai saat ini, komunikasi Ketua Umum PDI-P Megawati
Soekarnoputri dengan Ketua Umum Demokrat SBY belum cair.
Sementara di sisi lain, hubungan politik Prabowo dan Megawati juga cukup
terganggu akibat kisruh Perjanjian Batu Tulis yang dinilai Prabowo
merugikan pihaknya. Kondisi tersebut akan membuat Partai Gerindra dan
Partai Demokrat semakin dekat untuk saling mendukung pada Pilpres Juli
2014 mendatang. Oleh sebeb itu koalisi Partai Gerindra yang paling
potensial itu adalah dengan Partai Demokrat, karena Gerindra memiliki
Prabowo effect yang kuat, yang akan dilapis oleh pengaruh SBY yang masih
siginifikan, kalau ada kesepahaman partai–partai berbasis Islam lain
seperti PKS, PAN bisa memposisikan diri untuk berkoalisi dengan Partai
Gerindra.
Kalau hal ini terwujud akan ada tiga partai yang
berkoalisi Gerindra, Demokrat, PAN dan PKS, dengan prosentase sekitar 28
persen, sementara terhadap PPP tidak usah dihiraukan dulu sampai mereka
menyelesaikan konflik di internalnya.
Gambaran ke depan yang
sudah jelas tampak adalah koalisi di mana parlemen akan terdiri atas
kekuatan-kekuatan partai yang terdistribusi secara merata. Pemerintahan
koalisi tidak terhindarkan lagi. Publik berharap pemerintahan mendatang
tidak terjebak pada koalisi bagi-bagi kekuasaan yang gagap memberikan
solusi bagi persoalan-persoalan bangsa ini. Sekali lagi, kepentingan
rakyat harus diletakkan di garda terdepan dalam menghitung untung dan
rugi koalisi. Percayalah, jika mengutamakan masyarakat, sampai kapan pun
mereka akan membela namun sebaliknya, jika melupakan rakyat, sampai
kapan pun mereka akan memusuhinya.[Datuak Alat Tjumano, adalah peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia, Jakarta / detik].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar