Hasil survei Deutsche Bank yang dilaporkan pada 9 Juni 2014 menunjukkan, jika dalam pilpres nanti pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa memenangi pemilu, maka 56 persen dari investor yang disurvei mengaku akan menjual aset Indonesia.
Sementara itu, ada 13 persen yang akan membeli aset di Indonesia.
Sedangkan jika pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla menang, maka sebanyak 74 persen investor yang disurvei akan membeli aset Indonesia dalam bentuk saham dan obligasi.
Sedangkan 6 persen yang lain akan menjual asetnya.
Hal ini dilihat sebagai bentuk dari sikap prabowo yang dianggap menimbulkan ketidakpastian investasi.
Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih, melihat sentiment ini karena investor lebih memandang positif kepada sosok Jokowi ketimbang Prabowo.
“Kalau saya lihat ini masalah image, sosok prabowo lebih banyak diberitakan buruknya ketimbang Jokowi. Jadi, Jokowi lebih menarik bagi investor asing,” kata Lana di Jakarta, selasa (17/6/2014)
Investor asing tidak bisa dipisahkan dalam pembangunan Indonesia. Lana melihat bahwa Indonesia membutuhkan masuknya modal asing untuk mengisi cadangan devisa yang masih minim.
Jumlah cadangan devisa hanya mencapai 100 miliar dollar AS, jumlah yang masih kecil ketimbang negara lainnya.
“Jumlah itu setara dengan kekayaan Bill Gates, jadi agak susah juga kalau kita tidak peduli modal asing,” katanya.
Ia mengatakan, jika survey Deutsche Bank benar maka akan ada koreksi saham jika Prabowo memimpin.
Kondisi sebaliknya terjadi jika Jokowi memimpin dimana ada kemungkinan bursa saham akan naik, sebagaimana yang terjadi ketika Jokowi menyatakan keinginannya untuk maju sebagai capres.
Namun dia mewaspadai bahwa naik turunnya saham akan dimanfaatkan oleh investor asing. Jika kondisi saham menurun dia berharap agar kekosongan itu akan diisi oleh investor lokal, jika saham menaik maka bursa saham masih akan tetap diisi oleh investor asing.
"jadi kalaupun menurun saya kira tetap investor lokal harus mengambil kesempatan ini,” katanya.
Begitupun dengan nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah bisa menembus Rp 13.000 per dollar AS. Hanya saja Lana mengatakan bahwa sentiment tersebut bisa ditutupi dengan fundamental yang bagus dengan memperkecil defisit neraca perdagangan dalam jangka panjang.
“itu skenario jika investor menarik dananya, namun selama tidak ada chaos dan konflik sosial maka rupiah akan kembali ke basis fundamental,”katanya.
Lana mengatakan bahwa dalam jangka panjang pemerintah harus membangun kedaulatan ekonomi dengan tidak bergantung kepada asing. Namun proses tersebut tidaklah mudah karena dibutuhkan jalan panjang dalam 20 hingga 30 tahun ke depan.
“Landasannya harus dibangun pada saat ini, bagaimana mengurangi impor, tapi ya harus membutuhkan investasi dalam negeri dan luar negeri, saya kira baik pak Jokowi dan prabowo peduli kepada hal tersebut,”katanya.
Dalam riset tersebut, dijelaskan bahwa Jokowi dengan tegas menyatakan tidak ada transaksi koalisi dalam pembentukan kabinetnya bila dia menang, sedangkan Prabowo memperlihatkan adanya janji-janji politik kepada koalisinya. Ia tidak bisa mengutarakan hal tersebut karena masih sulit dibuktikan.
"Dalam politik itu biasa ada transaksional tidak bisa dibuktikan juga jika jokowi tidak akan melakukan itu, begitu sebaliknya, masalahnya apakah transaksional itu buruk ? tidak juga jika partai-partai tersebut memiliki kader-kader yang mumpuni dibidangnya,” kata Lana.
Dalam laporannya, Deutsche Bank juga mengatakan, kepemimpinan pemerintahan Indonesia berikutnya akan menentukan keputusan investasi di Indonesia. Hal itu disetujui oleh 87 persen dari 70 investor yang disurvei pada Mei 2014 sampai Juni 2014 lalu.
Dengan kondisi itu, maka arus dana masuk (inflow) ke Indonesia yang rata-rata 11,4 miliar dollar AS dalam lima tahun terakhir berpotensi untuk keluar jika hasil pemilihan presiden mengecewakan. [tribun]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar