Menteri Perumahan Djan Faridz mengaku mengalami kendala dalam
mengembangkan hunian vertikal di Jakarta. Terutama menyangkut persoalan
mendorong minat pengembang membangun rumah susun milik (rusunami) di Ibu
Kota.
Masalah pertama adalah soal regulasi Koefisien Lantai
Banguna (KLB) DKI Jakarta yang membuat pengembang malas membangun rumah
susun. Melalui regulasi KLB era Gubernur DKI sebelum Jokowi, KLB hanya
memungkinkan pengembang hanya membangun gedung 12 lantai saja.
KLB
merupakan perbandingan antara jumlah seluruh luas lantai seluruh
bangunan yang dapat dibangun dan luas lahan/ tanah yang dikuasai.
Perhitungan KLB membandingkan luasan seluruh lantai dengan luas kavling
yang ada.
"Kita minta Gubernur DKI (Jokowi) untuk mengembalikan
insentif yang diberikan Pak Sutiyoso, contohnya KLB, kita minta
dikembalikan jadi 6 meter, jangan 2,5 meter," ungkap Djan saat ditemui
di kantornya, Jumat (4/1/2013).
"Kalau 24 lantai lebih
menguntungkan dengan pengembang, Kemenpera sebagai penggerak supaya
rusunami jalan. Supaya bisnis maju," imbuhnya.
Selain itu, Djan
mengaku akan mengupayakan kepada Menteri Keuangan Agus Martowardojo
untuk menaikan batas rumah susun mendapat insentif penghapusan pajak
pertambahan nilai (PPN) dan subsidi konstruksi. Saat ini rumah susun
yang mendapat fasilitas ini adalah yang harganya maksimal Rp 144
juta/unit atau per meternya Rp 4 juta. Jika batas itu dinaikkan maka
pengembang properti bisa semangat membangun rusunami.
"Harga masih berlaku Rp 4 juta, nggak ada yang mau bangun. Saya minta Menkeu supaya Rp 7 juta, baru ekonomis," lanjutnya.
Sementara
itu Direktur Produksi Perum Perumnas, Kamal Kusmantoro mengaku
sumringah atas rencana ini. Menurutnya, ini akan kembali menumbuhkan
industri properti khususnya rusunami di dalam negeri.
"Begitu Rp 6
juta kita sudah mau bergerak lagi, malah Pak Menteri mau menaikkan jadi
Rp 7 juta itu sudah bagus. Yang kedua KLB, lantainya pendek, ini kan
3,5 pak Menteri bilang 4,5 atau lebih," katanya.
Sumber :
finance.detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar