Kejaksaan Agung (Kejagung) menolak berkomentar akan desas-desus yang menyebut adanya desakan terhadap Presiden terpilih Joko Widodo alias Jokowi, untuk memilih sosok Jaksa Agung dari internal, agar mengamankannya dari kasus dugaan korupsi pengadaan dan peremajaan bus Transjakarta.
“Maaf, kalau mengenai hal itu saya tidak bisa berkomentar. Karena penunjukan Jaksa Agung itu hak prerogatif presiden,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Tony Spontana, kepada SP, di Jakarta, Jumat (10/10/2014).
Beredar informasi yang menyebut kalau sekarang ini tengah terjadi situasi tarik-menarik akan kursi Jaksa Agung. Jokowi dipaksa untuk memilih jaksa karier sebagai Jaksa Agung dengan menggunakan isu kasus Transjakarta yang ditangani di Gedung Bundar.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) R Widyo Pramono ketika ditanyai kesiapannya ditunjuk sebagai Jaksa Agung tidak menjawab secara eksplisit.
“Kalau mengenai Jaksa Agung itu biarlah urusannya Gusti Allah dan presiden terpilih,” katanya.
Sementara, Jaksa Agung Basrief Arief mengatakan, penanganan kasus Transjakarta yang menjerat mantan Kadishub DKI Jakarta Udar Pristono terus berjalan.
“Kita tidak berhenti untuk mengusutnya,” kata Basrief.
Namun demikian, ketika disinggung akan posisi Jokowi dalam kasus Transjakarta tahun 2013, Basrief menjelaskan, pemeriksaan Jokowi dalam kasus yang nilai proyeknya mencapai Rp 1,5 triliun itu tergantung pada alat bukti. Sejauh ini penyidik berpandangan tidak ada urgensi memeriksa mantan Wali Kota Solo tersebut.
“Sekarang begini, kalau memanggil seseorang jangankan Jokowi, siapapun itu tentunya berdasarkan hasil pada pemeriksaan awal. Katakan tim penyidik mengatakan berkaitan dengan seseorang baru dilakukan pemanggilan. Selama ini belum ada ke arah sana. Kenapa kita harus terburu-buru kesana ?” kata Basrief.
Menurutnya, seluruh warga negara memiliki hak untuk menyampaikan pendapat atau melontarkan pernyataan. Termasuk pernyataan bernada tuduhan yang menyebut Jokowi layak diperiksa. Namun, Kejagung sebagai lembaga penegak hukum bekerja berdasarkan alat bukti bukan pernyataan.
“Siapa pun bisa mengeluarkan pernyataan tetapi kita bicara mengenai fakta hukumnya. Kita harus berkaitan dengan fakta. Tidak bisa dengan pernyataan,” ujarnya. [indonesiamedia]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar