Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mengkritik sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait penggalangan dana dari publik untuk pemenangan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dalam pemilu presiden mendatang. Menurut Fitra, penggalangan dana tersebut salah karena bertentangan dengan aturan.
"Kalau KPK mau membela pasangan Jokowi-JK jangan terlalu kentara, norak, atau kelihatan publik. Jadi pernyataan itu kelihatan kurang cerdas dan sangat menganggu independensi KPK di mata publik," kata Koordinator Investigasi dan Advokasi Fitra, Uchok Sky Khadafi, melalui pernyataan tertulis, Sabtu (31/5/2014).
Dalam pandangan Fitra, kata Uchok, langkah Jokowi-JK yang membuka rekening khusus untuk menampung sumbangan masyarakat merupakan bentuk gratifikasi. Pasalnya, semua pasangan capres-cawapres belum definitif atau belum resmi menjadi peserta Pilpres. Selain itu, Jokowi masih menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Penilaian itu, kata Uchok, merujuk pada Pasal 94 ayat 1 Undang-Undang Pemilu Presiden yang menyatakan dana kampanye adalah tanggung jawab pasangan capres-cawapres.
Menurut Uchok, sikap Jokowi-JK yang menggalang sumbangan publik menjadi preseden buruk bagi masyarakat.
"Pengumpulan dana dari publik adalah liar, dan mengajar publik untuk berlaku korup. Kami meminta Jokowi-JK menghentikan pengumpulan sumbangan dan hasil sumbangannya segera dilaporkan ke KPK karena masuk pidana gratifikasi," pungkasnya.
Jokowi-JK membuka rekening di Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk menampung sumbangan dari masyarakat. Jokowi-JK mengaku akan melaporkan seluruh dana yang terkumpul pada publik melalui media massa dan sarana lainnya.
Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono mengatakan, sumbangan dana kepada calon presiden dan wakil presiden bisa berpotensi menjadi gratifikasi jika sumbangan tersebut diperoleh dari pihak-pihak yang dilarang menurut undang-undang. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, capres dan cawapres dilarang menerima sumbangan dari sejumlah pihak.
Giri menyebutkan, pihak-pihak tersebut adalah pihak asing, penyumbang dengan identitas yang tidak jelas, pemberi sumbangan dari hasil tindak pidana termasuk pencucian uang, pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, serta pemerintah desa, termasuk badan usaha milik desa.
Giri menekankan bahwa penyelenggara negara atau pejabat yang tengah mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden diperbolehkan menerima sumbangan dari masyarakat sepanjang hal itu sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU Pilpres.
Menurut Giri, bila kepala daerah diizinkan cuti atau disahkan menjadi capres-cawapres, sebagian tanggung jawab penyelenggara negara atau pejabat tersebut telah lepas. Dengan demikian, UU Pemilu Presiden menjadi lex specialis atau aturan khusus yang mengizinkan calon tersebut menerima sumbangan dari masyarakat. [kompas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar