Pembangunan stasiun Mass Rapid Transportation (MRT) di Lebak Bulus
yang sedianya dimulai 7 Januari 2014 hari ini, harus ditunda oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Wakilnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Pemprov DKI
gagal mengosongkan Terminal Lebak Bulus akibat gelombang penolakan dari
massa yang mengatasnamakan awak bus AKAP.
Awak bus didukung
pengusaha, pegawai terminal dan pedagang, turun ke jalan menentang
kebijakan ini. Padahal, sejak dua tahun silam pemprov sudah
menyosialisasikan proyek tersebut. Pemprov juga menawarkan solusi, bus
AKAP dialihkan ke tiga terminal yakni Kalideres, Pulogadung dan Kampung
Rambutan.
Megaproyek MRT tahap I rute Lebak Bulus-Bundaran HI yang
menelan biaya sekitar 20T bertujuan mengatasi kemacetan lalu
lintas di Jakarta.
Proyek ini dicanangkan Pemprov DKI sejak zaman
Gubernur Fauzi Bowo, kini dilanjutkan oleh Jokowi-Ahok. Pengerjaannya
sudah dimulai Oktober 2013 di Dukuh Atas. Tahap I jalur sepanjang 15,7
kilometer ditargetkan selesai pada 2018.
Jakarta memang butuh
trasportasi massal yang cepat untuk mengimbangi dinamika aktivitas
warganya serta mengatasi problema kemacetan yang setiap hari membelenggu
ibukota. MRT diharap bisa menjawab permasalahan tersebut. MRT rute
Lebak Bulus-Bundaran HI misalnya, satu trip bisa membawa 1.200 penumpang
atau setara dengan 200 mobil kecil. Dalam sehari MRT diperkirakan mampu
mengangkut 412 ribu penumpang. Jumlah ini.
Tapi tak semua elemen
masyarakat setuju dengan program ini. Pihak yang tidak setuju, tentu
yang merasa dirugikan. Pengusaha bus khawatir penumpangnya akan anjlok,
karyawan terminal dan pedagang takut kehilangan pekerjaan. Selama ini
ada 80 perusahaan otobus (PO) baik bus antar kota antar provinsi (AKAP)
punya kepentingan di Lebak Bulus.
Proyek MRT seharusnya didukung
oleh semua pihak demi kepentingan yang lebih besar. Sebagai kota
Metropolitan, Jakarta membutuhkan moda transportasi darat yang cepat dan
bisa mengangkut penumpang dalam jumlah besar. Dibanding dengan
Singapura yang telah memiliki MRT dengan sistem terpadu, Indonesia jauh
tertinggal.
Untuk menuju sistem transportasi seperti itu, proyek
MRT harus tetap berjalan. Apalagi proyek ini sumber dananya berasal dari
utang pada Japan International Cooperation Agency (JICA) senilai 200
miliar Yen. Konsekuensinya, bila pengerjaan proyek terus tertunda,
kerugian yang ditanggung pemprov bukanlah kecil.
Pemprov DKI harus
duduk bersama dengan pihak-pihak yang punya kepentingan, guna mencari
solusi. Ini tantangan untuk Pemprov DKI. Ketegasan dibutuhkan, namun
bukan berarti menggunakan tangan besi. Kalau proyek ini terus molor,
denda 800J sehari atau 292M pertahun, menjadi beban yang
harus ditanggung. Padahal uang yang harus dibayarkan juga berasal dari
rakyat.
Sumber :
Pos Kota
Tidak ada komentar:
Posting Komentar