Langkah Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk melanjutkan megaproyek
enam tol dalam kota yang telah digagas sejak kepemimpinan Gubernur DKI
Sutiyoso menimbulkan pro dan kontra. Tak sedikit yang mendukung
langkahnya tersebut. Namun, tidak sedikit pula yang menyesalkan
kebijakan Jokowi yang selama ini dikenal pro rakyat dan dapat tercoreng
dengan langkahnya menyetujui enam tol dalam kota yang diyakini menjadi
pintu masuk bagi kendaraan pribadi.
Pengamat perkotaan asal Universitas Trisakti, Nirwono Joga, mengaku
sangat menyesalkan langkah yang diambil mantan Wali Kota Solo tersebut.
Bahkan, dia menyebut Jokowi tidak tahan terhadap tekanan pemerintah
pusat.
Seperti diberitakan sebelumnya, Jokowi mengambil keputusan
untuk melanjutkan enam tol dalam kota setelah mendapatkan pemaparan dari
Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto. "Inkonsistensinya yang harus
digarisbawahi. Itu berarti dia tidak tahan tekanan pusat karena
intervensi pusat kelihatan sekali," kata Nirwono kepada Kompas.com, Jumat (11/1/2013).
Nirwono
mengatakan, tidak ada jaminan kuat untuk mengurai kemacetan Ibu Kota
melalui langkah pembangunan enam tol dalam kota. Enam tol dalam kota
tersebut, kata Nirwono, hanya memunculkan ruas jalan dan titik kemacetan
yang baru lagi. Secara teknis, enam tol dalam kota hanya akan membuat
visual tata kota menjadi tidak bagus dan hanya akan efektif selama
dua-tiga tahun.
"Memang pokok persoalan kita itu transportasi
massal. Dengan adanya proyek ini, kebijakannya sangat bertentangan
dengan transportasi massal," katanya.
Nirwono memaparkan, proyek
tol layang tersebut selain membahayakan juga belum terkonsep secara
jelas di mana tempat pemberhentian atau halte apabila transportasi
massal boleh melintas di ruas tol itu, selain itu juga dinilai jauh dari
kota yang humanis.
"Satu hal yang pasti, belum ada kasus
kemacetan di negara mana pun yang diselesaikan karena pembangunan tol.
Ini sama saja seperti mematikan kompor pakai bensin," ujarnya.
Nirwono
memberi contoh tol dalam kota di Seoul, Boston, dan Chicago saja sudah
dirobohkan. Mengapa Jakarta justru akan membangun tol dalam kota baru?
Selain tidak ada jaminan mengurai kemacetan, Nirwono juga mempertanyakan
upaya penambahan armada transportasi massal dari Pemprov DKI, koridor
busway yang rencananya akan dibangun di tol, dan standar minimum
pengamanan bagi para penumpang yang melintasi tol layang tersebut.
"Menurut
saya, lebih baik Jokowi tawarkan ke publik dengan uang Rp 42 triliun
yang dianggarkan untuk enam tol itu lebih baik dibuat untuk
mengoptimalkan transportasi massal, ruas pejalan kaki, ruas jalan
sepeda, dan lainnya, itu sudah lebih dari cukup," ujarnya.
Seperti
diketahui, pembangunan enam tol dibagi empat tahap yang rencananya
selesai pada 2022. Tahap pertama, ruas Semanan-Sunter sepanjang 17,88
kilometer dengan nilai investasi Rp 9,76 triliun dan Koridor
Sunter-Bekasi Raya sepanjang 11 kilometer senilai Rp 7,37 triliun.
Tahap
kedua, Duri Pulo-Kampung Melayu sepanjang 11,38 kilometer dengan nilai
investasi Rp 5,96 triliun dan Kemayoran-Kampung Melayu sepanjang 9,65
kilometer senilai Rp 6,95 triliun.
Tahap ketiga, koridor
Ulujami-Tanah Abang dengan panjang 8,27 kilometer dan nilai investasi Rp
4,25 triliun. Tahap terakhir adalah Pasar Minggu-Casablanca sepanjang
9,56 kilometer dengan investasi Rp 5,71 triliun.
Jika sudah
selesai, keenam ruas tol itu akan menjadi satu dengan tol lingkar luar
milik PT Jakarta Tollroad Development, tetapi tarifnya akan terpisah
dengan tol lingkar luar.
Saat ditemui seusai pertemuan tertutup
dengan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Jokowi meyakini proyek itu
dapat memberikan kontribusi untuk mengurangi kemacetan di Jakarta.
"Tadi sudah dirapatkan bahwa akan mengurangi macet, lingkar jaringan dan
radial, saya menangkap itu ada kontribusi untuk mengurangi kemacetan,"
kata Jokowi, di Kementerian PU, Jakarta, Rabu
Sumber :
megapolitan.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar