Malam itu, hujan turun rintik-rintik. Di bawah payung hitam, sesosok
pria berkopiah dan berbaju koko, menyapa orang-orang yang menyemut di
jalanan sempit. Dia tak sendiri. Tangannya menggamit seorang wanita,
berdua mereka menyapa kerumunan orang, berjalan di antara kecipak air
hujan, beriring di gang yang lebarnya tak lebih dari satu meter.
Ini bukan elegi lagu lama yang sentimentil itu. Ini kisah nyata. Pria
itu adalah Jokowi dan wanita yang bersamanya, tentu saja, adalah
Iriana, istrinya. Mereka baru saja menjalankan salat Tarawih di Masjid
Tawakkal, Jl. Anyer 15 RT 001 RW 009, Menteng, Jakarta Pusat, sebuah
masjid yang berada di tengah permukiman padat. Bukan sekali ini mantan
Walikota Solo ini menyambangi warga di permukiman padat, menyalami, lalu
tangan dan tubuhnya ditarik-tarik, dijawil-jawil, diperebutkan, diajak
berfoto. Selalu begitu. Kurang-lebih, seperti itu pula gaya Jokowi di
Solo, dulu.
Kalau malam itu tak ada wartawan, bisa jadi peristiwa kecil itu tak
akan tersebar menjadi kabar besar. Tetapi jangan salahkan juga wartawan
yang suka mencuri-curi dengar kegiatan Jokowi. Beberapa pengelola media online
mengaku, orang ini, yang suka mengaku hanya bisa jualan kayu, adalah
aset informasi. Setiap berita tentangnya laris dibaca orang, di-click orang. Survei di berbagai daerah juga menunjukkan, berita tentang Jokowi banyak ditunggu orang.
Siapa pun boleh meniru gaya, atau mungkin bisa dibilang sebagai
rumus politik Jokowi: Blusukan, akrab dengan warga dan menggeber
kerja-kerja bertipe iconic. Tak usah bicara hasil dulu. Hasil
kerja itu soal polesan. Hasil itu perkara retorika. Namun mungkin tak
semua pejabat peniru itu sepintar Jokowi. Dia memang tak pandai
berpidato, tetapi pandai berbicara. Bila menggelar acara-acara formal,
mungkin dia hanya berbicara kurang dari lima menit. Namun dari yang
sebentar itu, para pekerja media bisa mempunyai banyak angle
untuk bahan tulisan. Sebaliknya, banyak pemimpin yang suka berbicara
berbusa-bisa, tetapi wartawan kebingungan mencari sesuatu yang ”nendang:
untuk ditulis.
Mungkin banyak tokoh politik, terutama para pengintai kekuasaan di
lingkaran puncak istana, gerah dan sebal setengah mati dengan Jokowi.
Dia bukan pengurus puncak partai, bukan pula pengusaha yang mempunyai
dukungan media televisi, tetapi dia belum kehilangan pesona media darling-nya.
Bahkan mungkin, tak semua elite PDI Perjuangan happy dengan
kemonceran pengusaha kayu ini. Alasannya bisa macam-macam. Mungkin
karena mereka merasa tak sampai hati dengan figur ibunda mereka,
Megawati, yang seolah terlupakan. Atau, kadang-kadang sesama sejawat
sehaluan pun, bisa tak senang melihat kawan mereka begitu melesat
kebintangannya.
Nyapres
Bagaimanapun, babak baru dongeng Jokowi muncul ke permukaan, Minggu
(7/7) lalu. Saat itu, Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP) 2014
Provinsi Jawa Tengah resmi dideklarasikan di Kendal. Barisan ini,
mengklaim bahwa tak lama lagi akan berdiri gerakan serupa di berbagai
daerah, berbagai kota dan provinsi di Indonesia.
Para pemain politik mungkin sudah menginvestigasi siapa aktor aksi ini, siapa yang membiayai dan apa out put yang
diharapkan. Tetapi bukan itu persoalan yang dibahas di sini. Sejatinya,
jika toh Bara JP berdiri di setiap kota di seluruh Indonesia, tetap
saja tidak akan bisa mengusung Jokowi menjadi presiden pada Pemilu
Presiden tahun depan. Kenapa? Bukankah hanya partai politik yang berhak
mengusung calon presiden. Itu pun dengan sejumlah syarat yang sangat
sulit. Apa lagi di era persaingan politik yang sangat ketat dewasa ini.
Berdasarkan Undang Undang No 42 tahun 2008, partai politik atau
gabungan partai politik boleh mengusung calon presiden jika mampu meraih
20 persen kursi atau meraih 25 persen suara secara nasional. Itulah
kenapa ketika Partai Hanura “pagi-pagi” sudah mendeklarasikan nama
Wiranto-Harry Tanoe sebagai capres dan cawapres, kalangan analis
menyebutnya sebagai bunuh diri politik. Hal ini mengingat daya angkat
Hanura untuk mengusung capres tanpa koalisi dinilai sangat sulit.
Maka apa yang terjadi dengan gerakan mendukung Jokowi nyapres
ini, bisa dianggap sebagai parlemen jalanan. Mereka sudah tahu gerakan
mereka tidak didasarkan pada jalur demokrasi yang wajar. Sudah pasti
mereka melakukan secara sadar, bahwa gerakan itu diharapkan menguat
sehingga bisa menggoda mainstream politik untuk mewadahi gerakan
mereka—misalnya oleh PDI Perjuangan. Walaupun hal itu masih teka-teki,
mengingat PDIP sebagai partai yang menaungi Jokowi, masih berkiblat pada
pola paternalistik di sekeliling Megawati.
Siapa tahu, bukankah PDIP belakangan ini mempunyai pilihan politik yang agak berbau adventure dan berani dalam menentukan figur calon pemimpin daerah. Dan jika toh PDIP membolehkan Jokowi nyapres, belum tentu DPRD DKI Jakarta mengizinkan dia mundur dari kursi gubernur DKI yang baru saja didudukinya.
Nama Jokowi memang terus meroket. Hampir semua survei mengunggulkan
namanya. Nama Jokowi juga panen puja puji di berbagai media sosial dan
laman berita. Bahkan jika Jokowi dikritik atau dicaci, segera saja para
penggemarnya berebut membela dan meng-counter. Salah-salah, si
pengkritik bisa di-bully.
Ini juga keanehan dunia politik kita. Jokowi belum bisa dianggap
berhasil menata Ibukota. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
Namun sikap dan pembawaan dia, membuat banyak orang jatuh hati. Inilah
yang terjadi. Zaman memang sudah berganti. Kini, rakyat merindukan
pemimpin yang merakyat yang bisa disentuh, yang mau menyapa mereka.
Selama ini mereka selalu dihadapkan kepada pemimpin yang lebih banyak
berada di gedung-gedung mewah, yang dilindungi tata aturan birokrasi
super ketat. Kini, di hadapan rakyat muncul sosok Jokowi yang sederhana,
seolah apa adanya.
Di balik semua itu, sebenarnya, pekerjaan utama seorang elite politik
yang duduk di kursi kekuasaan adalah menunjukkan karya nyata di hadapan
rakyatnya. Dengan begitu, kecintaan rakyat tak lagi perlu diminta. Jika
karya nyata hanya menjadi pemanis di bibir, terlalu banyak pencitraan
akan menjadi antitesa politik yang menyakitkan. Antitesa atas fenomena
Jokowi adalah Jokowi sendiri. Jika dia terlalu banyak diekspose tanpa
ada hasil kerja yang pantas, putaran waktu kelak yang akan melindasnya.
Perlu diingat pula, bagi rakyat miskin, pada akhirnya keramahan bisa tak
berguna sama sekali.
Mudah-mudahan fenomena Jokowi bisa menjadi virus politik, bukan virus
yang menyakitkan namun menyehatkan bagi kehidupan demokrasi di
Indonesia. Siapa saja boleh meniru cara Jokowi, bahkan memperbaiki
beberapa hal yang dirasa perlu. Dan kelak, semoga yang terbaik, yang
paling peduli, yang paling tulus, yang paling berani melakukan terobosan
yang akan memimpin negeri ini.
Sumber :
solopos.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar