Pertumbuhan pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan dengan memanfaatkan
fasilitas jalan umum di Ibu Kota Jakarta menjadi tantangan Gubernur DKI
Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Wilayah yang
menjadi perhatian dan fokus penataan oleh dua pimpinan Jakarta itu
adalah kawasan Pasar Minggu, Jatinegara, dan Tanah Abang.
Jokowi
menginginkan agar para pedagang kaki lima yang berjualan di jalan tidak
digusur tetapi ditata. Salah satu program Pemprov DKI Jakarta bagi PKL
misalnya menyediakan lokasi binaan (lokbin) bagi para PKL atau
memasukkan mereka di lokasi baru di dalam pasar sehingga bisa berjualan
lebih tertib.
Namun yang menjadi masalah, rata-rata pedagang
enggan masuk ke dalam pasar lantaran takut kehilangan pelanggan mereka.
Pengamat kebijakan publik, Andrinof Chaniago, mengatakan, masalah PKL
memang merupakan tantangan yang biasa terjadi di kota besar.
"Yang
paling berat memang kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung karena
tingkat kedatangan PKL-nya tinggi," kata Andrinof, Senin (15/7/2013).
Di
wilayah Jatinegara, Jakarta Timur, bahkan ada rencana menjadikan
bangunan sekolah untuk dialihfungsikan menjadi tempat PKL. Selain itu,
Pemprov DKI Jakarta juga membuat kebijakan PKL yang berjualan haruslah
warga yang memiliki KTP DKI Jakarta.
Menurut Andrinof, hal
tersebut memang perlu dilakukan untuk mengatasi perkembangan PKL yang
muncul dari luar Jakarta. "Menurut saya itu sah, tetapi bukan berarti
yang tidak punya KTP DKI itu tidak sah berjualan. Namun, mereka harus
mengurus hak domisili dan syarat administrasi yang diperlukan," ujar
Andrinof.
Ia mengatakan, Pemprov DKI Jakarta juga perlu
melakukan pendataan dengan jumlah PKL yang ada saat ini. Selain itu, PKL
yang ada juga harus didorong untuk membentuk organisasi di kalangan
mereka. Misalnya saja, lokasi binaan PKL percontohan di Daan Mogot,
Jakarta Barat.
"Penataannya lewat cara pengorganisasian. Mereka
harus didorong membentuk organisasi atau perkumpulan, tapi dengan aturan
yang harus diikuti, yang sesuai dengan kepentingan umum. Misalnya,
mereka harus terdata, tidak boleh menambah anggota. Kalau jumlah pasti
diketahui, maka mudah untuk mengatur. Yang bikin sulit, munculnya PKL
baru. Oleh karenanya, jumlahnya harus dikunci," ungkap Andrinof.
Sumber :
kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar