Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau Jokowi dihujani kritik dalam acara public hearing mengenai
enam ruas jalan tol di DKI Jakarta. Pembangunan jalan tol dianggap
bukan pilihan tepat dalam mengatasi kemacetan Jakarta. Para pengkritik
mendesak Jokowi mendahulukan pembangunan transportasi massal.
Selain Jokowi, hadir dalam acara public hearing yang
digelar di Balai Agung Balaikota DKI Jakarta, Selasa (15/1/2013),
antara lain Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak, Sekretaris
Daerah Fadjar Panjaitan, Kepala Bappeda Sarwo Handayani, Asisten Sekda
bidang Pembangunan dan Lingkungan Hidup Wiryatmoko, Kepala Dinas
Perhubungan DKI Udar Pristono, para pengamat transportasi, pakar, dan
masyarakat umum.
Pengamat transportasi yang juga Direktur
Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas menuntut janji
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk menolak penambahan ruas jalan,
terutama pembangunan ruas tol dalam kota. Menurutnya, warga yang memilih
Jokowi-Basuki dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI adalah mereka
yang antipembangunan jalan tol.
"Saya orang pertama yang bersuara
akan menggulingkan Jokowi-Ahok kalau berkhianat menyetujui enam ruas
tol. Yang memilih Jokowi itu yang anti enam ruas tol, pihak yang membuat
proyek tol ini pasti yang kemarin tidak memilih Jokowi," tegas
Darmaningtyas.
Darmaningtyas mengimbau Pemerintah Pusat, dalam hal
ini Kementerian Pekerjaan Umum, agar memprioritaskan pembangunan
transportasi massal daripada membangun enam ruas tol dalam kota. "Mau
hemat energi kok perbanyak jalan tol? Tolong otaknya agak lurus deh, yang sekarang dibutuhkan itu membangun transportasi massal," jelas Darmaningtyas.
Marco, salah seorang peserta public hearing,
menyatakan, penambahan jalan tidak terbukti mengurangi kemacetan. Ia
mencontohkan, Tokyo memiliki rasio jalan 20 persen, tetapi kemacetan tak
terpecahkan di kota itu.
"Mengutip Wali Kota Bogota, tidak ada
rumus jumlah jalan wajar bagi mobil. Saya memilih bapak karena secara
fundamental menolak fasilitas tambahan untuk mobil," ujarnya.
Seperti
diketahui, Jokowi akhirnya menyetujui pembangunan enam ruas jalan tol
dalam kota yang telah digagas sejak kepemimpinan mantan Gubernur DKI
Sutiyoso. Banyak pihak yang setuju dengan langkah Jokowi, tetapi tidak
sedikit yang menyesali kebijakan Jokowi tersebut. Menurut mereka yang
tidak setuju, pembangunan jalan tol tidak pro rakyat.
Jokowi
menyetujui pembangunan enam ruas tol dengan tiga syarat, yaitu ruas tol
boleh dilintasi transportasi massal, lulus uji Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (Amdal), dan tidak banyak pintu keluar masuk tol yang
menyebabkan macet.
Megaproyek enam ruas tol senilai Rp 42 triliun
itu dibagi dalam empat tahap yang rencananya selesai pada 2022. Tahap
pertama, ruas Semanan-Sunter sepanjang 20,23 kilometer dengan nilai
investasi Rp 9,76 triliun dan Koridor Sunter-Pulo Gebang sepanjang 9,44
kilometer senilai Rp 7,37 triliun.
Tahap kedua, Duri Pulo-Kampung
Melayu sepanjang 12,65 kilometer dengan nilai investasi Rp 5,96 triliun
dan Kemayoran-Kampung Melayu sepanjang 9,60 kilometer senilai Rp 6,95
triliun.
Tahap ketiga, koridor Ulujami-Tanah Abang dengan panjang
8,70 kilometer dan nilai investasi Rp 4,25 triliun. Serta yang terakhir,
yaitu Pasar Minggu-Casablanca sepanjang 9,15 kilometer dengan investasi
Rp 5,71 triliun. Total panjang ruas enam tol dalam kota adalah 69,77
kilometer.
Jika sudah selesai, keenam ruas tol itu akan menjadi
satu dengan tol lingkar luar milik PT Jakarta Tollroad Development,
tetapi tarifnya akan terpisah dengan tol lingkar luar.
Sumber :
megapolitan.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar