Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, mengatakan pembangunan Multi
Purpose Deep Tunnel atau terowongan raksasa bawah tanah multi guna bisa
dibatalkan jika laporan detail kajiannya menyatakan tidak efektif
mengatasi banjir. "Kalau cuma dua titik banjir buat apa, masak proyek
triliunan cuma dua titik, misalnya," kata Jokowi, Senin, 7 Januari
2013.
Saat ini, kata Jokowi, dirinya masih menunggu laporan detil proyek
senilai Rp 16 triliun itu. Dia ingin jika gorong-gorong sepanjang 23
kilometer itu bisa mengatasi banjir yang kerap menghantui Ibu Kota.
"Sekarang (detail kajian) masih dalam proses," ujarnya.
Deep
Tunnel akan di bangun dari ruas Jalan MT Haryono menuju Manggarai,
Karet, dan berujung di Pluit. Panjangnya mencapai 22 kilo meter dengan
kapasitas limpasan air sebanyak 2,5 juta meter kubik tiap tiga jam.
Menurut Jokowi, Deep Tunnel di Jakarta lebih canggih ketimbang milik
Malaysia.
Alasannya, gorong-gorong raksasa di Jakarta lebih multifungsi
daripada SMAR Tunnel Kuala Lumpur yang cuma bisa digunakan menjadi dua
fungsi. "Kalau di sini nanti bisa untuk banjir, jalan tol, saluran air,
kabel listrik, dan air baku," kata dia.
Mantan Wali Kota
Surakarta itu menolak tudingan bahwa proyek pembangunan gorong-gorong
ini merupakan kebijakan reaktif. "Itu kan sudah bertahun-tahun
direncanakan, blue print-nya saja sudah lama. Digagas sejak 2005,"
katanya.
Cuma saja, dia menambahkan, proyek ini terhambat lantaran minimnya
dana dan kesiapan pelaksanaannya. "Kita itu berkutat di situ-situ, kalau
sedikit-sedikit berpolemik, ramai, ya tidak mulai-mulai," ujarnya.
Sebelumnya, peneliti Rujak Center, Elisa Sutanudjaja, menilai
kebijakan pembangunan Deep Tunnel terlalu reaktif. Alasannya, kebijakan
itu diambil tanpa mempertimbangkan kondisi tanah Jakarta. Apalagi,
kontur tanah di Jakarta dan Kuala Lumpur, Malaysia, yang dijadikan
contoh sangat berbeda. Kritikan Elisa dibantah penggagas Deep Tunnel,
Firdaus Ali. “Kalau enggak ngerti, jangan asal ngomong,” kata Firdaus.
Jokowi mengungkapkan, banyak proyek besar di Jakarta yang sudah
selesai kajiannya, namun tidak kunjung direalisasikan. "MRT sudah 20
tahun tidak mulai-mulai, monorel tidak mulai-mulai," kata dia. Karena
itu, dia menegaskan akan mengambil keputusan untuk melanjutkan
pembangunan proyek besar di Ibu Kota itu.
Sebelumnya, peneliti
Rujak Center, Elisa Sutanudjaja, menilai kebijakan pembangunan Deep
Tunnel terlalu reaktif. Alasannya, kebijakan itu diambil tanpa
mempertimbangkan kondisi tanah Jakarta. Apalagi, kontur tanah di Jakarta
dan Kuala Lumpur, Malaysia, yang dijadikan contoh sangat berbeda.
Sumber :
www.tempo.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar