Senin, 08 September 2014

Jokowi dan Azimat Kalimasada

Jokowi belum dilantik sebagai presiden. Tapi berbagai elemen sudah berdatangan. Minta kasus HAM diagendakan untuk dituntaskan. Ada yang ‘ngluruk’ agar dilibatkan. Dan tidak sedikit yang meminta jatah menteri. Bagaimana kemungkinan sepak terjang Jokowi yang dipersonifikasikan sebagai Petruk yang jadi ratu (presiden) itu?
Diingkari atau tidak, saat ini negara memang sedang punya masalah. Berdasar garis besar pikir Machiavelli, politik itu kekuasaan an sich.
Semuanya ditujukan untuk itu. Tidak ada kebaikan untuk memperbaiki tatanan. Juga tidak ada keburukan untuk memperburuk keadaan. Adagium menghalalkan segala cara sah dilakukan. Dan dalil Lord Acton kekuasaan itu cenderung korup perlu diberi penegasan, bahwa kekuasaan itu memang korup.
Apologi dari otak-atik itu, Jokowi jadi presiden. Laki-laki sederhana asal Solo ini kariernya bak roket. Dari menjabat Walikota Solo yang tidak sampai tuntas, melejit menjadi Gubernur DKI yang juga idem dito. Seperti naik jet, kini Jokowi terpilih sebagai presiden Republik Indonesia.
Tampilnya Jokowi sebagai Satrio Pinilih ini menyerupai naiknya Gus Dur menjadi presiden. Kala itu situasi politik memanas. Konflik kepentingan sudah sampai di ubun-ubun. Diperlukan ‘bagi-bagi kuasa’. Dan Gus Dur yang cacat phisik akhirnya tampil sebagai ‘Satrio Pinandhito’. Terpilih sebagai presiden untuk memimpin negeri ini.
Masalah yang melatari terpilihnya Jokowi memang beda. Itu karena banyak cerdik-pandai yang tidak cerdik dan tidak pandai. Semua hampir berpikir sama. Berpikir demi tujuan sesaat. Kaya. Korupsi dianggap lumrah. Ini justifikasi radikalnya perubahan dari filosofi budi ke filosofi materi dalam budaya bangsa ini. Tidak dibutuhkan lagi Tuyul atau Nyi Blorong untuk mendapatkan harta secara instan. Pejabat-pejabat itu sudah katam mengaji ilmu memburu harta itu. Apalagi tumbalnya cuma tinggal di rumah prodeo.
Akibat itu agama terpuruk dibuatnya. Hanya jadi kedok dan topeng menutupi kebobrokan moral dan budi pekerti. Ini sebagai tanda, belum muncul gerakan menuju kebaikan. Martir belum terdeteksi. Belum ada pendeta (kiai) bersabuk tanah seperti isyarat Jangka Jayabaya. Jamaah korupsi (mungkin) masih akan mencuat lagi. Tinggal tunggu saat dan kesempatan.
Saat negara terlilit masalah itu, Babad Tanah Jawi memberi kesaksian yang unik. Akan mulai bermunculan batu-batu hitam, diikuti gabus-gabus yang tenggelam (keleme gabus, kambange watu item). Orang baik mulai banyak yang masuk pemerintahan. Menggusur pejabat yang suka tipu-tipu, tidak kapabel, dan koruptif.
Paham optimis ini dibarengi dengan slogan khas paria, ‘yen wis ana umbul-umul klaras soko kulon ngetan parane, iku tanda yen Zaman Jayabaya wis tumeko’. (Jika sudah ada umbul-umbul daun pisang kering dari timur menuju ke barat, itu tanda era Jayabaya sudah tiba).
Era Jayabaya yang dimaksud adalah kejayaan dan kemakmuran sebuah negara. Dan dari timur ke barat diidentifikasi sebagai peralihan dari Pemerintahan SBY (Pacitan-Jawa Timur) ke Jokowi (Solo-Jawa Tengah).
Tampilnya tokoh yang ‘tidak ditokohkan’ itu bak ‘udan salah mongso’. Hujan yang tidak datang sesuai waktunya. Dalam lakon wayang, ini disimbolkan dalam kisah carangan Petruk Dadi Ratu. Rakyat bawah yang ‘tidak punya maqom sebagai penguasa, tetapi kemudian berkuasa’.
Petruk adalah lambang rakyat jelata. Dia berasal dari keluarga papa yang ribut dengan urusan ekonomi tak kecukupan, direcoki dengan pikiran-pikiran ‘arus bawah’ (seks), yang ujung dari problem itu adalah keluarga berantakan. Bersama Gareng, sejak kecil Petruk hidup menggelandang. Untung bertemu Semar, Bodronoyo, lurah yang budiman dan diambil sebagai anak. Nah Petruk dengan latar belakang seperti itu yang kemudian menjadi raja.
Ini gara-gara jimat negara yang bernama Jamus Kalimasada hilang tercuri. Dewi Mustakaweni, putri dari Kerajaan Imantaka, menyamar sebagai Gatotokaca, berhasil menipu Bambang Irawan dan Bambang Priyambodo (anak Arjuna). Keduanya setelah tahu tertipu gagal merebut. Justru Petruk yang berhasil mengamankan. Sayang dia harus berkalang tanah akibat keris Kiai Jalak Adipati Karna dari Astina.
Gandarwa sakti menghidupkannya. Mengubah wujud Petruk sebagai Duryudana Raja Astina. Adipati Karna tertipu. Jamus Kalimasada diserahkan pada Petruk, yang menjadi sangat sakti ketika azimat itu diletakkan di atas kepalanya. Adipati Karna dikalahkan. Para dewata lintang pukang. Termasuk para raja dari berbagai kerajaan yang disinggahi.
Dalam tiap penaklukan, Petruk yang bergelar Prabu Welgeduwelbeh (Belgeduwelbeh) itu selalu mengingatkan tiga perkara. Jangan sembrono soal azimat negara. Jangan sombong jika sedang berkuasa. Jangan sakiti hati rakyat kalau masih ingin berkuasa. Untuk itu Petruk juga mendapat atribut Prabu Kanthong Bolong, karena uang di sakunya selalu tandas untuk berderma.
Saya yakin Jokowi tahu filosofi itu. Dia paham implementasi dari laku yang mampu mendistorsi kuasa ‘para raja’ dan ‘dewata’ itu. Ini terlihat dari sepak terjangnya selama ini. Ketika berlaga di Solo, Jakarta, dan Pilpres yang memenangkannya. Juga dirangkulnya Yayasan Kalimasadha Nusantara saat baru beranjak maju nyapres. Kalau konsisensi itu tetap terjaga, dijamin Jokowi akan memegang kekuasaan dalam dua periode.
Namun bagaimana membuatnya lengser? Seperti cerita Petruk Dadi Ratu. Yang bisa membuat Jokowi menyerahkan kekuasaan itu hanya satu ‘bau’. Kedua saatnya tiba, kuasa dikembalikan pada yang layak berkuasa. ‘Bau’ yang dimaksud adalah ‘kebosanan‘ karena paria masa lalunya memberi nostalgia indah. Ingin kembali menjadi rakyat biasa. Sedang kedua, jika sudah dua periode memerintah, dia dipaksa undang-undang menyerahkan jabatan pada penggantinya.
Akankah Jokowi akan benar tampil sebagai Petruk Dadi Ratu? Memerintah dengan hati demi memperbaiki nasib rakyat jelata yang mayoritas menghuni negeri ini? Ataukah dia lupa diri dan berubah jadi ‘kere munggah bale’, si paria alpa asal-usul? Waktu jua yang akan menjawabnya.  [detik]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar