Senin, 07 April 2014

Jokowi Enggan Persoalkan KJP yang Dimanfaatkan Parpol Tertentu

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo enggan mempermasalahkan adanya partai politik (parpol) tertentu yang memanfaatkan Kartu Jakarta Pintar (KJP) untuk kepentingan partainya.
"Urusan teknis seperti itu masa semuanya suruh ke saya. Tugas gubernur masa disuruh urusi yang kecil-kecil seperti itu. Tanya saja sama partainya," ujar Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi di Balai Kota, Jakarta, Senin (7/4/2014).
Jokowi mengatakan, siapapun diperbolehkan mengusulkan mana siswa yang memerlukan KJP kepada Pemprov DKI, termasuk parpol. Namun, harus sesuai dengan kriteria siswa yang memerlukan KJP tersebut.
Jokowi yang juga sebagai bakal calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini menilai salah, apabila parpol tersebut menggunakan paksaan ketika mengusulkan siswa yang harus mendapat KJP itu.
"Lho sebenarnya kamu itu boleh mengusulkan siapa yang Perlu KJP kamu usulin. Kalau masuk kriteria bisa saja dapat, kalau enggak masuk dan kamu maksa-maksa itu yang enggak benar. Kamu harus ngerti," kata Jokowi.
Seperti diberitakan sebelumnya, kuota siswa penerima KJP di SMA 76 Jakarta diserobot oknum anggota partai politik. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) paling banyak menyodorkan nama siswa tak berhak menerima KJP.
"PKS paling banyak mengajukan nama siswa tak berhak sebagai penerima KJP ke Dinas Pendidikan," kata Kepala SMA 76 Jakarta Retno Listyarti.
Jumlah nama yang diajukan PKS adalah
12 siswa, sementara sisanya masing-masing satu nama diajukan oknum politikus dari Partai Demokrat, PDIP, PAN, PKB.
Retno mengaku kaget atas adanya nama-nama siswa sekolahnya yang diajukan oknum Parpol. Sebab kewenangan menyodorkan nama siswa penerima KJP ada di pihak sekolah. Pihak sekolah pun melakukan seleksi ketat agar penerima KJP adalah siswa yang benar-benar membutuhkan.
Dia menerangkan, berdasarkan surat edaran dari Dinas Pendidikan, jumlah penerima KJP untuk sekolahnya adalah 28 siswa yang berasal dari kelas X. Pihak sekolah pun mengumumkan ke para siswa untuk mengajukan permohonan mendapat KJP. Untuk memastikan penerima KJP adalah siswa yang benar-benar membutuhkan, sejumlah prosedur ketat pun dilakukan pihak sekolah.
Para siswa harus mengisi formulir yang berisi latar belakang ekonomi keluarga. Di situ, kata Retno, antara lain terdapat isian soal status rumah, tagihan listrik, dan jumlah penghasilan orang tua.
Pihak sekolah pun mewawancarai siswa untuk menggali lebih dalam latar belakang mereka. Tak cukup sampai di situ, pihak sekolah pun mengutus guru untuk mengunjungi kediaman para siswa. "Ini untuk memastikan bahwa penerima KJP nantinya adalah siswa yang sangat membutuhkan," kata Retno.
Prosedur berlapis yang dilakukan sekolah pun kelar. Sebagai kepala sekolah, Retno mendapatkan 28 nama siswa calon penerima KJP ke Dinas Pendidikan. Alangkah terkejutnya dia saat diberitahu Dinas bahwa jatah penerima KJP kini tersisa 11 siswa. Alasannya, sebanyak 17 nama siswa lainnya telah diajukan oknum anggota Parpol.
Retno menduga Dinas Pendidikan memuluskan nama tersebut karena ada tekanan oknum Parpol. Dia menyayangkan kasus tersebut terjadi. Apalagi, mayoritas siswa yang diajukan oknum Parpol adalah siswa yang tak pantas menerima KJP. Nama-nama siswa yang diajukan oknum Parpol sangat berbeda dengan hasil penelusuran pihak sekolah untuk menjaring siswa yang berhak menerima KJP.

Sumber :
tribunnews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar