Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
mempertanyakan komitmen pemerintah pusat menangani kemacetan. Semangat
pemerintah mengeluarkan kebijakan mobil murah bebas Pajak Penjualan atas
Barang Mewah dinilai bertolak belakang dengan upaya menangani
kemacetan.
"Wakil Presiden pernah menginstruksikan 17 langkah mengatasi macet di
Jakarta. Setelah ada kebijakan mobil murah, kami memohon arahan apa
yang bisa dilakukan,” kata Gubernur Provinsi DKI Jakarta Joko Widodo
(Jokowi) saat menghadiri pertemuan gubernur dan wali kota ibu kota negara di
Jakarta, Rabu (18/9/2013).
Lantaran instruksi itu dikeluarkan Wapres Boediono, Gubernur
Jokowi mengirim surat mengenai hal itu kepada Wapres. Surat yang
dimaksud dikirim pada Senin dan belum mendapat balasan dari Boediono.
Upaya yang bisa dilakukan Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta
adalah menyiapkan aturan antisipasi agar Jakarta tidak jadi ”neraka”
kemacetan. Kebijakan yang bisa ditempuh dalam batas kewenangan Pemprov
DKI, kata Jokowi, mempercepat pemberlakuan jalan berbayar di ruas
tertentu (electronic road pricing/ERP), pembatasan penggunaan kendaraan
berbasis nomor kendaraan, meningkatkan jumlah dan kualitas layanan
angkutan umum, serta meningkatkan biaya parkir di badan jalan (on
street).
Selama ini, Pemprov DKI Jakarta telah melakukan kewajibannya
seperti yang tertuang dalam instruksi tersebut. ”Kami terus melakukan
percepatan mengatasi kemacetan sesuai instruksi itu,” kata Jokowi.
Turun tangan
Sementara itu, menurut pengamat transportasi, Djoko Setijowarno,
pemerintah seakan lupa dan abai bahwa sebenarnya sudah memiliki program
17 aksi atasi kemacetan Jakarta. ”Anehnya, yang muncul duluan justru
kebijakan mobil murah. Mestinya program 17 aksi tersebut dipercepat dan
difasilitasi dengan beragam kebijakan penunjang dan pendorong,” katanya.
Kini, nasi sudah jadi bubur. Agar tidak tambah runyam, pusat
didesak segera mengeluarkan kebijakan yang mempermudah revitalisasi
angkutan umum dan pembangunan angkutan massal.
Ketua Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan mengatakan, yang
diperlukan sekarang adalah mempercepat program pembangunan angkutan umum
dan massal di DKI. Upaya ini tidak akan berhasil jika tidak didukung
pemerintah pusat, seperti masalah mematok rendah bunga kredit pengadaan
armada angkutan umum baru.
Organda menilai, jika pajak masuk impor angkutan dibebaskan atau
setidaknya dibuat serendah mungkin, tentu perusahaan angkutan akan
berlomba berinvestasi. Di sisi lain, perlu ada kebijakan pengadaan suku
cadang, termasuk oli dengan harga stabil dalam jangka waktu tertentu.
Hal yang sama juga disampaikan Barry Damanik, operator metromini.
Peremajaan armada tidak bisa diserahkan hanya kepada operator lantaran
harga armada baru terlalu tinggi.
Harga bus sedang dengan pendingin udara Rp 450 juta per unit.
”Sebagai sebuah investasi, harga ini masih tinggi bagi operator.
Idealnya, harga berkisar Rp 300 juta sampai Rp 350 juta,” katanya dalam
diskusi yang diselenggarakan Dewan Transportasi Kota Jakarta.
Dengan harga setinggi itu, operator sulit mengganti armada mereka
dengan yang baru meskipun armada itu sudah tidak layak lagi. ”Kalau
tidak ada bantuan dari Pemprov, peremajaan bus sulit dilakukan sehingga
kualitas pelayanan juga akan turun. Padahal, kami ingin berpartisipasi
mengubah wajah Jakarta dan membantu pengguna sepeda motor agar beralih
memakai angkutan umum,” kata Barry.
Ketua Kopami Jaya Ramses Tobing menambahkan, 90 persen bus tidak
layak operasi. Namun, operator tidak sanggup meremajakan kendaraan yang
dimiliki. ”Kalau ada bantuan pemerintah, kami siap mengikuti aturan
pemerintah,” katanya.
Sekretaris Dishub DKI Jakarta Drajad Adhyaksa mengatakan, 346
unit bus sedang sudah selesai tender dan akan datang tahun ini. Masih
ada 14 unit yang akan ditender. Jika proses tender 14 unit ini lancar,
pengadaan bus sedang tahun ini berjumlah 360 unit. ”Pengadaan bus tahun
ini tidak bisa mencapai 1.000 unit karena berbagai hal, antara lain
tidak adanya kesepakatan lelang bus,” katanya.
”Mekanismenya, bus tidak bisa diberikan ke perorangan atau
operator begitu saja. Harus ada wadah, seperti BUMD atau kelompok, yang
punya standar pelayanan tertentu untuk menggunakan bus yang dibeli dari
APBD,” ujar Drajad.
Sumber :
kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar