Cuaca siang hari pada Kamis, 4 Juli lalu di Serang, Banten, cukup terik.
Selesai acara di tempat yang tidak terlalu jauh, Tubagus Dedi Suwandi
Gumelar alias Miing langsung menuju kantor rekan separtainya yang
menjadi Wakil Gubernur Banten, Rano Karno. Politikus PDI Perjuangan itu
berjanji ingin mampir dan ngobrol dengan sahabatnya itu.
Bermaksud
ngobrol ingin mengajak Rano untuk ikut mendukung dirinya dalam kampanye
calon Wali Kota Tangerang, malah Miing mendapat curhatan hati dari
Rano. Ia mengaku terkejut ketika Rano mengaku kurang mendapat tugas
proporsional sebagai Wakil Gubernur Banten. Menurut Miing, Rano merasa
tidak optimal menjadi Wagub Banten dan terlintas ingin mundur dari
jabatannya.
Meski tidak memperlihatkan wajah terpukul, ia tahu
perasaan sahabatnya itu. “Saya tanya Ji, bagaimana Banten, kok ente
jarang ada beritanya. Dia malah cerita seperti itu. Lha, saya kan mau
ngobrol dan ajak dia kampanye soal Wali Kota Tangerang,” kata Miing
kepada detikcom pekan lalu.
Anggota Komisi Pendidikan dan
Olahraga Dewan Perwakilan Rakyat ini melihat ada yang janggal dengan
hubungan orang nomor satu dan nomor dua di Banten itu. Padahal, katanya,
pasangan ini baru setahun. Miing menilai tidak ada kekompakan dan
pembagian proporsional antara tugas gubernur dan wakilnya. “Seharusnya
saling melengkapi, ini malah didominasi satu saja,” ujar bekas komedian
ini menyesalkan.
Pecah kongsi antara kepala daerah dan wakil
kepala daerah mewarnai duet kepemimpinan Gubernur Banten Ratu Atut
Chosiyah dan Wakilnya, Rano Karno. Ketidakharmonisan hubungan semestinya
tidak terjadi seperti pada kasus pengunduran diri Wakil Bupati Garut
Dicky Chandra beberapa waktu lalu.
Bagi Miing sendiri seharusnya
tugas antara gubernur dan wakilnya itu seperti Joko Widodo (Jokowi)
dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang memimpin DKI Jakarta. Ia
membandingkan duet ini saling melengkapi dan meringankan tugas secara
bersama. “Saya enggak ada motif apa-apa. Ini spontanitas dan manusiawi
saja. Jangan terlihat adem ayem tapi bermasalah. Kalau seperti ini kan
rakyat yang kasihan,” ujar Miing menambahkan.
Adapun Direktur
Eksekutif Indobarometer Muhammad Qodari menganggap pengakuan Rano yang
menyebut tak mendapat pembagian peran dan fungsi, sebagai hal yang lazim
terjadi baik pada yang berpasangan dengan artis maupun tidak. “Seingat
saya memang tidak ada wakil diberikan wewenang khusus, jadi memang
fungsinya dia kalau ketua berhalangan dia yang menggantikan. Jadi enggak
bisa dituntut secara hukum karena tidak ada dasar hukum tertulis,”
Qodari kepada detikcom pagi tadi.
Berkaca pada pembagian peran
antara Gubernur DKI Jokowi dan wakilnya Ahok, Qodari mengatakan hal itu
tergantung pada keikhlasan masing-masing kepala daerah. “Jadi kalau
artis terjun ke wilayah politik, dia harus sadar bahwa politik itu ada
faktor formalnya dan juga nonformal seperti keikhlasan pribadi kepala
atau manuver politik yang dia lakukan.”
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang menekankan
semestinya
sebelum maju sebagai pasangan, kedua calon harus membuat kontrak
politik untuk pemisahan tugas, tanggung jawab dan peran sebagai kepala
daerah dan wakilnya. Jika pembagian peran tidak jelas, akibatnya di
tengah jalan akan terjadi keretakan dan cekcok karena satu pihak merasa
tidak diperankan sama sekali, atau sebaliknya perannya dinilai terlalu
besar. “Pembagian peran itu mestinya mutlak dilakukan,” kata dia Minggu (28/7/2013). “Kalau sudah ada (pembagian) tapi mereka tetap
retak, maka kemungkinan ada masalah lain, seperti persoalan pribadi.”
Menteri
Dalam Negeri Gamawan Fauzi sebelumnya sudah mengingatkan bahwa
pembagian tugas dan kewenangan antara kepala dan wakil kepala daerah
sudah jelas tercantum dalam Undang-Undang 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Bekas Gubernur Sumatera Barat ini menekankan dalam
UU tersebut semuanya sudah diatur termasuk soal anggaran operasionalnya.
Sumber :
detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar