Bambangwirawan, paranormal paguyuban Altubina Jakarta yang belum beken itu ada nerawang, bahwa angka 4-nya Jokowi amat dominan. Sebab, dia resmi ditunjuk sebagai Capres RI 2014, diumumkan hari Jumat 14/3/2014 pukul 14:44; stickernya JKW4P alias Joko Widodo For Presiden; 4 itu nomor PDIP dalam pemilu legislatif (pileg).
Selain itu, angka 4 juga padanannya hari brojolan PDIP sebagai penerus PDI 10/1/1973, sebab berangka 4. Trus, klop sama hari maujudnya Megawati, 23/01/1947, berangka 4 pula.
Busyetnya, di tanah China, 4 itu angka sial. Disebut dead star, bikin stres. Wajar, Maret 2003, mobil berplat nomor polisi berakhiran 4 diharamkan beroperasi di Beijing, lapor Paul Smith (Numbers can understood very differently across cultures, Spotlight 03/2006).
Mungkin dilarang, tanah China majunya jadi luar biasa, sehingga produknya pun blusukan di tanah Nusantara.
Di samping kesialan angka 4 itu, hari kelahiran PDI-P sang penerus PDI itu Rabu. Sedangkan 9/4/2014 tanggal Pileg itu jatuh Rabu. Rabu ketemu Rabu, hasilnya buruk dan susah.
Maka, mencalonkan Jokowi sebagai capres, diharapkan bisa mengelak dari malapetaka. Pasalnya, Jokowi, maujudan 21/6/1961, Rabu, berangka 8. Di tanah China, 8 dianggap berhoki jempolan. Paul Smith melaporkan, bahwa Agustus 2003, maskapai udara di China, sudi nyetor USD 300.000 lantaran menggaet nomor telepon 8888 8888. Maka, sudilah hokinya Jokowi itu nyipratin PDIP.
Lalu bagaimana dengan peluang Jokowi mresiden? Angka 8 punya dia itu cocok banget sama angka 8 hari maujudnya RI 17/8/1945. Dinujumkan, Jokowi akan terpilih. Cuma, dalam hal berpresiden, Jokowi akan menghadapi ganjalan.
Pertama itu watak wuku Mahanilnya RI yang pemalas tapi baik nafkahnya alias beraroma korupsi. Ini kontrasannya Jokowi, berwuku Sungsang, ogah menganggur, memesona dan membuat tenteram hati orang. Kedua, sesuai klenikan Jawa, 8 itu angka sukar. Ketiga, Presiden Indonesia itu mandul, UUD 1945 memaksanya sejolian sama DPR alias presiden mesti selingkuhan sama banyak partai dan buahnya jibunan menteri sampai berbesanan pula. Wajar, bila pemerintah mengadu di depan Mahkamah Konstitusi Januari 2009, bahwa DPR bertele-tele, sukar berkonsensus bikin presidensialismenya gak efektif.
Sebenarnya, kalau mau jalan pintas, bisa njiplak tipu-tipu Mensalao presidente Brasileiro Lula. Supaya gak bertele-tele macam di Nusantaraleloro, maka hati nurani para anggota Camara dos Deputados (DPR Brasil), produk poporsional opened, open list seperti di Nusantaraleloro, diblusukin fulus, biar RUU atau kebijakan governo mbludus lolos.
Presidensialisme Nusantaraleloro itu mirip presidensialisme Amerika Latin. Beken sebagai presidencialismo de coalizao atau parlementarisasi presidensialisme, bisik Eyang Detlef Nolte.
Beda dengan presidente Nusanteraleloro, maka presidente di beberapa negara punya santet tertentu agar bisa memerintah. Misalnya, demi mencegah parlemen bertele-tele, presidente Brasileiro dapat menentukan tempo pembahasan RUU. Atau Presiden Putin bisa mbubarin Duma (DPR Rusia) jika dijamputin, Duma jadi ciut lawan Putin. Misal lain itu presidente di Peru dan Argentina yang berhak bereferendum jika RUU atau kebijakan governo ditampik parlemen.
Andai Jokowi dapat memerintah sesuai harapan dan kebijakannya gak di-DPRD-Jakarta-kan, maka ciamiknya perolehan suara PDIP itu patut njiplak partai Presidenta Argentina, Cristina Fernandez de Kirchner, yang meraup 44,7% kursi di Camara de diputados (DPR Argentina) 2011. Koalisiannya gampang. Tapi berbeda dengan di Argentina yang proporsional closed list, dalam pemilu Nusnataraleloro itu pemilih lebih mbulusin fulus ketimbang program partai dan mengaburkan Jokowi sebagai bagian PDIP.
Afdolnya jika Jokowi nyapres 2019 berkat pelet coattail effect, makakala pilpres dan pileg diselenggarakan serentak. Cuma agaknya, Jokowi udah keahok-ahok di Betawi. Biar selamat, sebaiknya bersesajen nasi dang-dangan, lauknya ayam dan bebek betutu, urap dari 9 macam daun-daunan. Agar Presiden Jokowi gak dipaksa cuma bisa blusukan sinterklasan doang dan lumpuh ngebangun sistem.
Sumber :
merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar