Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) memiliki gaya unik menyelesaikan persoalan
komunikasi dengan warganya. Makan siang pun bisa jadi cara. Menghadapi
isu-isu sensitif pun, tidak ada spanduk tuntutan dan pengeras suara dari
warga, tidak ada pula pentungan Satpol PP. Hanya denting sendok garpu
yang berujung pada kata sepakat.
"Makan siang bersama seperti
Pak Jokowi dan warga itu istilahnya memang mempersatukan," ujar Kepala
Biro Kepala Daerah dan Hubungan Luar Negeri DKI, Heru Budi Hartono
kepada Kompas, Selasa (1/10/2013) petang.
Heru
adalah orang yang sehari-hari mengatur jadwal orang nomor satu di
Jakarta tersebut. Di catatannya sejak dilantik hampir satu tahun lalu,
politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut telah enam kali
mengundang warga DKI untuk makan siang bersama di Kantor Balaikota.
Kali
pertama, Februari 2013 , Jokowi mengajak warga korban banjir di Jakarta
Utara makan siang setelah beberapa kali mengunjunginya. Tidak ada
persoalan yang begitu penting diselesaikan dengan para korban banjir.
Misi Jokowi, kala itu, bisa jadi adalah silaturahmi dan mengurangi beban
saja.
Dua bulan berselang, sekitar awal April, giliran warga
yang bermukim di sekitar Waduk Pluit duduk satu meja makan dengan
gubernurnya. Misi Jokowi sedikit lebih berat saat itu. Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta berencana menggeser warga masuk ke rumah susun agar
dapat menata waduk seluas 80 hektare itu.
Kekerasan hati warga
yang puluhan tahun bermukim di sekitar waduk itu, sampai membuat Jokowi
dua kali mengundang perwakilan warga ke Balaikota. Di meja makan yang
tertutup bagi media massa itu, cerita Heru, Jokowi bicara dari ke hati
dengan para perwakilan.
Pertimbangan soal kelaikan hidup warga
di rusun yang dijamin lebih baik, menjadi cara Jokowi bicara mendekati
warga. "Bahkan tak jarang, Pak Jokowi yang mengambil nasi misalnya untuk
warga. Sambil makan,mereka saling bicara, kita harapkan tentunya juga
saling mendengar. Begitulah yang terjadi," lanjut Heru.
Tersulit
Makan
siang bersama yang berikutnya, berlangsung pada Agustus 2013. Menurut
Heru, ini adalah makan siang tersulit. Kali ini yang diundang adalah
para pemilik bus metromini di Jakarta. Jokowi mengundang mereka untuk
bersama-sama merevitalisasi fasilitas angkutan umum tersebut.
Penolakan, pengajuan pertimbangan, dan adu argumen, tutur Heru, menghiasi jalannya makan siang sang gubernur. Toh
saat makanan penutup dibuka, para pengusaha metromini itu sudah sepakat
untuk masing-masing memperbaiki armada demi keselamatan penumpang,
konsumen mereka.
Makan siang, tetap menjadi salah satu cara
pendekatan Jokowi, ketika berhadapan dengan pedagang Blok G Pasar Tanah
Abang dan warga yang bermukim di sekitar Waduk Ria Rio. Dua makan siang
digelar pada awal dan akhir September 2013.
Barangkali falsafah Jawa "nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji"
adalah "jurus" andalan Jokowi. Dalam bahasa Indonesia, saloka itu
secara harfiah berarti "menyerbu tanpa pengerahan pasukan, menang tanpa
mempermalukan, dan ampuh tanpa perlu ilmu kesaktian". Tafsir umumnya,
hasil terbaik dapat dicapai tanpa perlu tindakan kekerasan, bersikap
merendahkan atau mempermalukan, maupun strategi yang bertele-tele.
"Setiap
setelah makan siang, kami evaluasi, apa yang kurang. Kenyataannya
hampir semua di lapangan berjalan. Warga di waduk semuanya mau pindah ke
rusunawa, pemilik metromini mulai memperbaiki armada, PKL Tanah Abang
mulai masuk ke Blok G, berhasil semua," kata Heru.
Bagaimana
dengan penolak Lurah Susan? Heru mengaku langsung mengernyitkan dahi
ketika beberapa waktu lalu sang gubernur menginstruksikannya untuk
mengatur jadwal makan siang bersama warga di Lenteng Agung, Jakarta
Selatan.
Warga diketahui menolak keberadaan lurahnya, Susan
Jasmine Zulkifli, yang ditugaskan ke wilayah itu setelah lolos lelang
jabatan. Penolakan terjadi karena Susan berbeda agama dengan para
penolak yang mengaku sebagai warga setempat.
Heru mengaku ragu, apakah "jurus" makan siang akan efektif untuk kasus ini. "Kami kan
punya semacam intelijen di lapangan juga. Kami tahu itu ada pihak yang
ada di baliknya. Ada eks PNS yang tak suka dengan lurah baru. Makanya
dipakai agama untuk mengakomodir massa menolak lurah, kami tahu semua
itu," lanjut Heru tanpa mau merinci siapa yang dimaksudkannya.
Namun,
pengalaman keberhasilan makan siang Jokowi bersama warga sebelumnya
menjadi penguat keyakinannya untuk menggelar cara serupa. Apakah
hasilnya akan kembali sama? Kita tunggu saja.
Sumber :
kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar