Joki, pemandangan yang akan gampang kita temui pada jam-jam pemberlakuan
ketentuan 3 in 1 untuk jalanan Jakarta. Minimal, mereka akan menjadi
orang ketiga di dalam mobil yang memilih melintas di jalur yang terkena
aturan itu.
Bekerja menjadi joki cukup dengan berdiri di lokasi
strategis di sekitar "mulut" jalur 3 in 1. Berpakaian "pantas" untuk
naik ke mobil yang akan memakai jasa, sedikit usaha yang diperlukan.
Lambaikan tangan, pada kendaraan yang terlihat memelankan laju
kendaraan, untuk membuka peluang "jasa" terpakai.
Ini adalah
pekerjaan tak butuh keterampilan. Cukup memenuhi langkah-langkah di
atas, maka kemungkinan mendapatkan uang cukup besar didapatkan. Sekali
layanan melengkapi jumlah minimal tiga orang dalam satu kendaraan,
paling tidak Rp 20.000 sudah masuk kantong.
Udin (29) adalah
salah satu joki itu. Mangkal di bilangan Jalan Imam Bonjol, Menteng,
Jakarta pusat, dia menyasar kendaraan yang hendak melintasi Jalan
Sudirman atau Jalan Thamrin melintasi ruas itu. "Jam kerja" mereka
adalah menjelang pemberlakuan 3 in 1 setiap pukul 07.00-10.00 WIB dan
pukul 16.00-19.00 WIB.
"Putus nyambung putus nyambung. Kalau kerja ya kerja, kalau nganggur ya jadi joki lagi," kata Udin, ketika ditemui Kompas, Jumat (4/10/2013). Dia mengaku, dengan menjadi joki, dia bisa mengantongi Rp 20.000 sampai Rp 50.000 per hari.
Risiko
jadi joki, sebut Udin, hanya dikejar-kejar Satpol PP. Itu kalau sedang
ada operasi atau arahan baru dari para pemimpin wilayah. Di "wilayah
operasi" Udin, operasi bisa terjadi karena kawasan itu kerap disebut
sebagai "ring satu", dengan banyak pejabat negara maupun perwakilan
asing tinggal maupun berkantor di sana.
Ketidakefektifan 3 in 1
Kehadiran
joki di banyak lokasi di Jakarta adalah potret tak efektifnya kebijakan
3 in 1. Semula, kebijakan ini dibuat untuk mengurangi kepadatan lalu
lintas Jakarta, terutama pada jam berangkat dan pulang kerja.
Harapannya, orang akan memilih menggunakan angkutan umum, atau
setidaknya "berkolaborasi" menumpang satu kendaraan.
Namun,
fenomena joki yang bukan lagi rahasia jelas memupus efektivitas yang
diharapkan. Kemacetan tetap saja lebih parah pada jam-jam pemberlakuan
ketentuan itu. Selain memang orang nyaris serempak melintas, joki
menjadikan aturan minimal tiga orang dalam satu kendaraan tak mengurangi
jumlah mobil yang melintas. Cukup rogoh kocek sesuai jumlah joki yang
dibutuhkan, maka selesai persoalan minimal penumpang dalam satu
kendaraan roda empat.
Udin mengatakan, kalaupun razia joki
digelar, jera adalah kata yang jauh dari kamus para joki. Dia
mengatakan, bila terjaring razia, para joki dikirim ke Panti Sosial di
Cipayung, Jakarta Timur, atau ke Panti Sosial di Kedoya, Jakarta Barat.
"Tidak kapok," ujar dia tanpa bercerita apa yang dia dapatkan dengan
"hukuman" ditempatkan di panti sosial itu.
Pekerjaan jadi kilah
Leni
(40), perempuan keturunan Ambon, ini mengaku menjadi joki karena
terpaksa. "Suami saya tak bekerja," kata dia. Untuk menutupi kebutuhan
sehari-hari, joki yang tak butuh keterampilan apalagi pengalaman kerja,
dilakoni.
Setiap "bekerja", Leni melibatkan dua anak
perempuannya. Satu anak berusia di bawah lima tahun selalu dia gendong.
Satu anaknya yang lain adalah siswa sekolah dasar. Leni mengaku
keluarganya tinggal di rumah kontrakan, tak ada yang menjaga anak
balitanya bila ditinggal di rumah.
Dalam sehari, Leni mengaku
bisa mendapatkan Rp 20.000 sampai Rp 40.000. Sesekali, aku dia, tak ada
yang memilihnya menjadi joki. "Kalau dikejar (petugas) ya ngumpet, ya saya bisanya hanya joki," aku dia.
Bukan hanya satu dua
Joki bukan hanya satu dua.
Ada puluhan, bahkan mungkin ratusan Udin maupun Leni di seantero
Jakarta. Di bilangan Menteng saja, cukup menengok ruas Jalan Diponegoro
dan Jalan Imam Bonjol untuk melihat keberadaan para joki ini. Belum lagi
di Jalan Gatot Subroto, Jalan KH Mas Mansyur, Jalan Casablanca, kawasan
Kebayoran Baru, dan rute-rute lain yang mengawali jalur 3 in 1 Jakarta.
Safrudin
(30), seorang petugas keamanan di kawasan Menteng, adalah salah satu
yang terganggu dengan keberadaan joki. Tak hanya "merusak pemandangan",
dia pun pernah ikut terangkut razia karena dikira salah satu joki.
Tak
hanya membuat aturan 3 in 1 tak punya makna, kehadiran joki semestinya
lebih dalam lagi dicermati. Mungkin rekor pendapatan mereka belum
seperti "pak ogah" di setiap simpang atau perputaran jalan dan para
"pekerja" pengemis yang bisa mendapatkan puluhan hingga ratusan ribu,
bahkan jutaan rupiah dari recehan yang diterima, tetapi tetap saja joki
adalah fenomena sosial.
Tak masuk akal bila ada yang berkilah
polisi atau petugas dinas perhubungan tak tahu keberadaan joki. Berkilah
bukan tugasnya menertibkan joki juga terasa mengingkari makna aturan
rekayasa lalu lintas yang dibuat untuk menangani dilema lalu lintas
Jakarta. Operasi Satpol PP yang juga hanya sesekali, terasa seperti
"dagelan" pada siang hari, tak akan efektif menghapus praktik joki.
Barangkali,
problem sesungguhnya tetap saja pekerjaan dan pendidikan. Namun, apakah
bekerja yang butuh ketekunan dan keahlian, ataupun pendidikan yang
butuh proses dan bahkan "buang uang" menarik minat para joki dan
"profesi" serupa yang tahu cara dapat uang tanpa keahlian dan proses
itu? Pak Jokowi dan siapa pun pejabat negeri, ini tantangan Anda.
Sumber :
kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar