Laman

Rabu, 18 September 2013

Sindiran: Jokowi Anak Wayang Apa Kata Dalang

Dalam politik tak ada yang tak ada, segala kemungkinan bisa terjadi dan jungkir-balik. Itulah logika politik, apapun bisa terjadi kalau sudah dihadapkan pada apa yang namanya kekuasaan. Tak terkecuali kalau kita mencerimati wacana pencapresan Joko Widodo (Jokowi), segalanya bisa terjadi.
Begitu halnya saat mencermati keterpilihan Jokowi membacakan Dedication of Life di perhelatan Rakernas PDI-Perjuangan 2013 yang kemudian secara implisit dimaknai sebagai pemberian sinyal bagi Jokowi yang kini menjabat gubernur DKI berpotensi maju dalam laga pencapresan atas nama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Pilpres 2014.

Justru yang kemudian menjadi pertanyaan, di tengah arus gelombang opini publik mendukung pencapresan gubernur DKI, relakah Megawati menyerahterimakan sepenuh hati kepada Jokowi, mengingat dari hasil sejumlah jajak pendapat nama Ketua Umum PDI-P masih bertengger tercantum dalam deretan bursa capres 2014, meski elektabilitasnya berada di bawah kader partainya.
Kalkulasi politik menjadi beda ketika partai berlambang kepala banteng ini dalam pemilihan legislatif berhasil meraup suara di atas 25%, sehingga berpeluang memajukan sendiri capres dan cawapresnya. Seandainya target ini terpenuhi, tinggal pilihannya jatuh siapa capres dan cawapresnya, apa Megawati – Jokowi, atau kebalikkannya, atau akan berpasangan dengan yang lain. Bilamana Megawati mundur dari pencapresan, berarti peluang terbesar jatuh ke Jokowi.
Bila wacana pencapresan Jokowi makin deras mengalir dalam internal partai bukan tidak mungkin hal ini akan menjadi benturan internal yang bisa menggoyang posisi Megawati seandainya masih bersikukuh berlaga di Pilpres 2014. Relakah Megawati?

Dalam politik segala kemungkinan bisa terjadi. Termasuk ketika berandai-andai jangan-jangan eforia pencapresan Jokowi ini masuk ikut bermain dalam bagian dari skenario politik yang dirancang untuk menggembosi dan meredam majunya Megawati dalam pencapresan di Pilpres 2014. Yaitu menghadapkan sang ketua umum Megawati dengan Jokowi. Apa ini juga dipahami Jokowi.
Mengorbitnya Jokowi di pentas politik nasional ini memang fenomenal. Di tubuh PDI-P, posisi Jokowi hanyalah kader biasa bukan putra mahkota atau elit partai yang jauh-jauh hari sudah dipersiapkan mengisi regenerasi estafet kepemimpinan dinasti Megawati Soekarnoputri. Tapi setidaknya sebagai kader partai, Jokowi telah menunjukkan keberhasilan kepemimpinannya saat menjadi walikota Solo maupun di DKI Jakarta.
Sebagai kader partai, Jokowi pastinya sadar betul bahwa dirinya hanyalah anak wayang, apapun lakon yang diperankan semuanya tergantung kemauan dan skenario politik sang dalang. Begitupun, sebagai kader partai yang baik, pastinya di sini Jokowi manut wae derek kersane ibu di balik semua kepentingan politik yang ada. Nggak tahu kalau dalam hal ini juga punya logika politik sendiri.
Dalam hal ini nampak tersirat, Jokowi sangat berhati-hati dan mempertimbangkan betul secara dalam menentukan sikap pencapresan dirinya. Pastinya Jokowi juga punya logika politik sendiri, maju di Pilpres 2014 atau tetap memilih mengabdi sampai akhir masa jabatan sebagai gubernur DKI Jakarta guna membuktikan sebagaimana dijanjikan Jakarta Baru.
Begitu pula ketika menyikapi gelombang euforia opini publik atas pencapresan dirinya, Jokowi tidak mau salah langkah termakan oleh euforia citraan opini publik dengan realita politik yang bisa serba abu-abu dan politik abal-abal.
Sebagai kader partai, pastinya Jokowi sadar betul bahwa dirinya hanyalah anak wayang, apapun lakon yang diperankan semuanya tergantung kemauan dan skenario politik sang dalang. Walau dalam hal ini Jokowi punya logika politik sendiri untuk menentukan sikapnya.

Oleh : Alex Palit, citizen jurnalis “Jaringan Pewarta Independen”
Untuk Tribunnews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar