Pengamat komunikasi politik Universitas Indonesia (UI), Profesor Hamdi
Moeloek, menilai lambannya koordinasi untuk mengantisipasi terbenturnya
kebijakan pusat dan daerah sedikit banyak disebabkan perbedaan golongan,
yakni partai politik.
"Saya curiga yang terjadi begini, kan
pemerintah pusat Partai Demokrat, Jokowi itu PDI-P. Kalau dibantu, nanti
seperti membesarkan anak macan. Entah itu benar atau tidak ya," ujar
Hamdi saat dihubungi, Senin (16/9/2013).
Pernyataannya
tersebut bukan tanpa dasar. Di Indonesia, perilaku sektarian atau lebih
mementingkan kepentingan golongan ketimbang kepentingan publik oleh
pejabat negara masih sangat kental terasa. Hal itu dapat dilihat pada
DPR RI.
Hamdi menilai, munculnya sosok Jokowi dan wakilnya
Basuki Tjahaja Purnama seharusnya menjadi contoh pejabat publik yang
mementingkan kepentingan masyarakat ketimbang golongan. Oleh sebab itu,
tak ada solusi untuk mengatasi tumpang tindih kebijakan tersebut dengan
saling melaksanakan komunikasi antara pusat dan daerah. Terlebih lagi,
keadaan serupa juga tidak dialami di DKI Jakarta saja, Gubernur Jawa
Tengah Ganjar Pranowo pun mengungkapkan hal serupa. Bahkan, bukan tak
mungkin persoalan itu merupakan cermin buruknya komunikasi pusat dan
daerah soal benturan itu.
"Demi kebaikan masyarakat, sudahlah.
Jangan berpikir sempit. Bantu saja. Jika Jakarta berbenah, pasti jadi
inspirasi bagi daerah lainnya," ujarnya.
"Sudah selayaknya
pemerintah pusat berkolaborasi mengentaskan masalah bersama. Eranya kini
bukan lagi kerja lamban, retorika, wacana, tapi layani publik, contoh
Jokowi-Ahok," lanjutnya.
Setidaknya, ada dua kebijakan Pemprov
DKI Jakarta yang berbenturan dengan pemerintah pusat. Program gebrakan
Jokowi-Ahok pun jadi lemah seketika. Di tengah-tengah upaya Jokowi-Ahok
meminimalisasi kemacetan dengan memperbaiki transportasi umum di DKI,
pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun
2013 tentang Regulasi Mobil Murah dan Ramah Lingkungan atau LCGC.
Soal
lain, di tengah upaya Jokowi-Ahok mengatasi masalah banjir dengan
normalisasi sungai dan waduk di DKI, di mana harus merelokasi warga
bantaran terlebih dahulu, pemerintah pusat menerbitkan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembebasan Lahan untuk Kepentingan Umum.
Pembebasan lahan yang biasanya dilakukan Panitia Pembebasan Tanah di
bawah gubernur pun menjadi dialihkan ke Badan Pertanahan Nasional, di
bawah Kementerian Pekerjaan Umum (PU).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar