Sabtu, 08 November 2014

Umar Bin Khattab dan Jokowi

Wajah Umar bin Khattab terlihat murung. Ekspresinya menggambarkan seseorang yang terkena musibah dan menanggung beban amat berat.
Hari itu adalah hari pengangkatannya sebagai khalifah, menggantikan Abu Bakar ash-Shiddiq yang telah wafat. Tidak terlihat wajah kegembiraan terkait terpilihnya dia sebagai khalifah. Itu terlihat dari pidatonya.
"Hai umat Muhammad! Saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian. Seandainya tidaklah didorong oleh harapan bahwa saya menjadi orang yang terbaik di antara kalian, orang yang terkuat bagi kalian, dan orang yang paling teguh mengurusi urusan-urusan kalian, tidaklah saya menerima jabatan ini. Sungguh berat bagi Umar, menunggu datangnya saat perhitungan."
Tidak ada yang lebih membebani pikiran Umar selain bagaimana melaksanakan amanah kepemimpinan ini dan mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah kelak. Suatu pemandangan yang tidak biasa kita lihat bahwa ada seseorang yang terpilih menjadi penguasa, namun merasa ketakutan dan bersedih.
Kondisi sebaliknya justru kita lihat ketika Joko Widodo (Jokowi) menjalani pelantikan sebagai presiden RI ke-7. Pesta Rakyat digelar sangat meriah, Jokowi terlihat sangat senang dan merasa bersyukur atas keterpilihannya.
Sesungguhnya amanah kepemimpinan adalah sesuatu yang sangat berat. "Sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus (urusan rakyatnya) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya." (HR Muslim dan Ahmad).
Tanggung jawab seorang pimpinan terhadap rakyatnya adalah menjamin semua urusan individu rakyatnya terpelihara dengan baik. Umar bin Khattab sangat khawatir jika sampai ada keledai yang terjatuh di jalanan akibat jalan yang berlubang. Karena itu, ia segera memperbaikinya.
Keadilan dan kesederhanaan adalah hal yang melekat pada sosok kepemimpinan Umar. Di saat penguasa lain tinggal di istana dengan singgasana dan kehidupan yang mewah, Umar hidup di rumah sederhana di antara gang-gang kecil dengan pakaian sederhana.
Umar sangat hati-hati dalam membelanjakan harta negara. Dia mematikan lampu minyak di ruangan kantornya, ketika anaknya mengunjunginya di malam hari untuk membicarakan masalah keluarga. Umar sungguh khawatir dia menghabiskan minyak lampu yang berasal dari uang rakyat ketika sedang membicarakan masalah pribadi bersama anaknya.
Kondisi sebaliknya justru kita lihat ketika presiden Jokowi mengadakan kunjungan kenegaraan baik di dalam maupun di luar negeri. Jokowi hampiur selalu mengajah anak-anaknya untuk perjalanan yang dibiayai oleh negara. Dimana Jokowi tahu persis bahwa rakyatnya boro-boro bisa naik pesawat gratis, untuk makan pun banyak yang belum bisa 3x sehari meski dengan lauk tahu-tempe-ikan asin yang paling murah sekalipun. Ini bukan masalah aturan maupun undang-undang, tetapi etika yang oleh Jokowi diberi judul "revolusi mental".

Sikap penguasa yang amanah terlahir dari keimanan yang kuat. Sebagai salah satu sahabat yang telah dijamin Rasulullah SAW masuk surga, kekuatan iman Umar tidak diragukan. Setiap malam sebelum tidur, dia selalu menghisab dirinya atas apa yang sudah dilakukannya sepanjang hari. Umar berkata, "Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk akhirat (yaumul hisab)."
Umar telah mengajarkan kepada kita semua, kepada para pemimpin dan calon penguasa, untuk senantiasa berpegang teguh pada aturan yang telah digariskan dalam menjalankan roda kepemimpinan. Dengan cara seperti itu, diharapkan Sang Pemilik Alam Semesta juga akan senantiasa melindungi dan menolong para pemimpin dalam menjalankan amanah yang diberikan kepada-Nya. Insya Allah. Aamiin...

Bagaimana dengan Jokowi dengan revolusi mentalnya? 

2 komentar:

  1. Harusnya Prabowo yg pesta karena terhindar dari tanggung jawab besar.
    Tapi kenyataannya KMP malah semakin sibuk meratapi kekalahan.

    BalasHapus
  2. Jokowi jadi president yg menang rakyatnya. Klo prabowo yg jadi president yg menang kita pun tahu siapa yg Bakal menang. Prasangka buruk selalu kami tumpukan kpd prabowo Dan partai2 pendukungnya

    BalasHapus