Setiap hari untuk menuju kantor saya melewati Sungai Cikeas. Dulu, di
atas sungai ini hanya ada satu jembatan sehingga ketika jam sibuk arus
lalu lintas menjadi tersendat.
Beberapa tahun lalu, seiring pelebaran jalan di kawasan
Cibubur-Cileungsi, jembatan di atas sungai itu ditambah satu lagi
sehingga mempercepat perjalanan orang-orang yang akan menuju Jakarta,
termasuk tentunya Pak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang
tinggal di dekat wilayah itu.
Semenjak masa kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif 2014 pekan
lalu, di atas jembatan itu terbentang dua baliho raksasa berwarna biru
cerah. Tergambar di situ foto Pak SBY yang sangat gagah dan tampan.
Selain itu, juga sederetan kalimat tentang pencapaian Partai Demokrat
yang dipimpinnya. Ya, namanya juga masa kampanye. Namun, saya tidak
akan membicarakan isi baliho tersebut. Pasti Anda sudah mengerti apa isi
baliho tersebut lebih rinci.
Kala itu, Minggu siang pekan lalu, saya menyeberangi jembatan Sungai
Cikeas itu bersama Tilottama, anak saya yang baru berusia 4,5 tahun.
Seusai melewati baliho raksasa itu, dia bertanya,”Ayah, itu kan foto Pak
Presiden yang mau diganti Pak Jokowi [Joko Widodo yang saat ini
menjabat Gubernur DKI Jakarta] ya…?”
Agak kaget juga saya, anak TK Nol Kecil ini kok bertanya soal politik. ”Hlo, Nak, kok tahu soal Pak Beye dan Jokowi segala..?”
”Aku kan lihat di TV dan koran yang Ayah baca. Banyak banget gambar
Pak Jokowi. Katanya mau jadi presiden…Nanti gantian dia dong yang nguing-nguing nyalip kita,”ujar dia lugu.
Saya hanya tersenyum dan mengalihkan pembicaraan. Tak perlu membebani
alam pikiran anak TK dengan aneka informasi yang belum saatnya
dipahami. Banjir informasi soal pemilihan umum, baik legislatif dan
presiden, di berbagai media massa mau tidak mau ikut merasuk ke benak
anak-anak.
Terlebih saat nama Joko Widodo akhirnya diumumkan oleh Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai calon presiden yang akan
diusung partai itu. Reaksi masyarakat dan partai politik lain pun riuh
rendah menyikapi pencalonan tersebut seperti yang terekam di media mainstream maupun media sosial di dunia maya.
Saat pengumuman pencalonan Jokowi oleh PDIP, kebetulan saya sedang
berada di dekat meja seorang teman yang memantau perkembangan pasar
modal dan pasar uang. Saat itu transaksi di pasar modal maupun pasar
uang berlangsung datar-datar saja.
Mulai pukul 14.05 WIB, saat ada berita rapat di DPP PDIP, transaksi
perdagangan saham mulai meningkat. Puncaknya, pada pukul 14.45 WIB saat
nama Jokowi resmi disebut menjadi calon presiden partai oposisi itu,
indeks harga saham gabungan (IHSG) pun langsung melesat naik.
IHSG ditutup dalam kondisi melejit 152,47 poin atau 3,23% ke level
4.878,64 pada perdagangan Jumat (14/3). Nilai rupiah pun menguat 0,26%
ke level Rp11.356/US$. Posisi mata rupiah tersebut sekaligus menjadi
level penutupan terkuat sejak awal November 2013.
Kenapa reaksi pasar keuangan bisa sedemikian ”heboh” saat Jokowi
dideklarasikan sebagai calon presiden? Kenapa reaksi serupa tidak muncul
saat nama-nama lain, Prabowo Subianto, Anis Matta, Ahmad Heryawan,
Aburizal Bakri, Gita Wiryawan atau lainnya yang berminat menjadi calon
presiden disebut-sebut atau bahkan dideklarasikan?
Bagi saya, reaksi pasar keuangan–apalagi di tengah pasar global
seperti sekarang ini—adalah faktor yang tak dapat dikesampingkan begitu
saja. Mekanisme pasar—yang sering tak kasat mata—ini sering kali menjadi
faktor yang ikut ambil bagian penting dalam naik turunnya seorang
pemimpin, selain tentunya suara rakyat yang dimanifestasikan dalam
pemungutan suara.
Sejarah juga mencatat, suara rakyat dan kemauan pasar sering kali
bersinergi menentukan pasang surut kekuasaan. Kita sudah mengalaminya
saat kejatuhan Pak Harto, yang selain didemo oleh masyarakat banyak,
juga dihantam oleh kekuasaan pasar keuangan setelah nilai tukar rupiah
jatuh hingga Rp16.000/US$.
Tidak hanya di Indonesia, di negara lain pun situasi seperti itu
sering kali terjadi. Lantas, mengapa ketika Jokowi begitu diperintah
Megawati Soekarnoputri [Ketua Umum DPP PDIP] untuk maju ke pemilihan
presiden reaksi pasar begitu positif?
Asa Publik
Mas Tony Prasetiantono, salah seorang teman yang mengajar ekonomi di
Universitas Gadjah Mada (UGM), menyatakan Jokowi merupakan sosok yang
menimbulkan kepercayaan investor di pasar. Menurut dia, dengan situasi
seperti itu, bila Jokowi terpilih menjadi presiden, penanaman modal
asing maupun dalam negeri akan ikut mengalir deras.
Faktor ini penting untuk mengakhiri periode wait and see dalam
perekonomian kita. Senada dengan itu, salah satu deputi direktur Bank
Indonesia menyatakan penguatan nilai tukar rupiah didorong harapan
tinggi akan munculnya satria piningit yang memenuhi asa publik.
Pelaku pasar—khususnya asing–bertindak proaktif mendahului momentum.
Pelaku asing secara konsisten mengalirkan dana ke Indonesia sepanjang
tiga bulan pertama 2014 ini untuk belanja berbagai aset rupiah.
Di pasar saham, kepemilikan asing menggelembung sebesar Rp22 triliun dengan preferensi saham unggulan (blue chip)
sektor keuangan. Di pasar obligasi, asing menambah pundi-pundi
kepemilikan Rp16 triliun hingga menguasai porsi kepemilikan 32%.
Apa artinya? Pasar berekspektasi Jokowi mampu memenangi pemilihan
presiden. Dan bila ini terjadi, asumsinya mantan Wali Kota Solo ini bisa
membawa perbaikan perekonomian Indonesia. Berikutnya, bila ini terjadi
juga, prospek keuntungan yang diraih investor di pasar tentunya akan
menjadi berlipat. Simple.
Bagaimana bisa para investor di pasar memiliki ekspektasi seperti itu? Pertama, track record Jokowi sendiri selama ini, baik selama menjadi Wali Kota Solo maupun Gubernur DKI Jakarta telah membuat banyak orang kepincut.
Kedua, dari kepincut itu akhirnya berubah menjadi dukungan.
Berbagai survei menunjukkan hal itu. Survei terbaru Roy Morgan yang
dirilis pekan lalu menunjukkan Jokowi merupakan kandidat yang paling
dipilih sebagai presiden pada Pemilu Presiden Juli 2014 dengan jumlah
suara mencapai 40%, melebihi Prabowo Subianto (17%) dan Aburizal Bakrie
(11%).
Memang survei belum tentu selalu benar. Jokowi sendiri mengalami hal
itu saat maju ke pemilihan gubernur DKI. Ingat kan, seluruh lembaga
survei kala itu menjagokan calon lain dan hasilnya jauh berbeda?
Namun, yang jelas, reaksi pasar keuangan dan hasil berbagai survei
telah membuat pemilu legislatif April nanti menjadi kehilangan pesona,
kalah oleh pemilu presiden yang akan berlangsung Juli. Partai peserta
pemilu pun lebih berminat membicarakan siapa calon wakil presiden yang
pantas disandingkan dengan Jokowi, seolah-olah dia pasti menang.
Tidak sedikit pemimpin partai politik—baik malu-malu kucing maupun
terang-terangan—menawarkan diri untuk ikut menikmati sawab Jokowi. Saya
jadi ingat pembicaraan dengan anak saya lagi.
”Memang Pak Jokowi mau jadi presiden, Nak?”
“Ya Ayah, kan wajahnya lucu, ndhesit. Nanti jadi…,”kata Tilottama.
Sumber :
solopos.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar