Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) telah menghitung matang
risiko pencapresan Joko Widodo atau Jokowi, termasuk status kepala
daerah, Gubernur DKI Jakarta.
Wakil Sekretaris Jenderal PDIP,
Ahmad Basarah mengakui ada dua pasal dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Presiden, yang mengatur kepala daerah yang maju
dalam pilpres.
Pasal 6 UU Pilpres tersebut mengatur, seorang
kepala daerah yang ingin mencalonkan diri harus mengundurkan diri.
Sementara, Pasal 7 UU Pilpres mengatur kepala daerah yang mencalonkan
diri hanya perlu meminta izin presiden.
Dari pilihan itu,
kemungkinan besar Jokowi akan mengundurkan diri dari jabatan Gubernur
DKI Jakarta. "Kemungkinan besar jalan yang akan dipilih oleh Pak Jokowi
dan PDI Perjuangan adalah mengundurkan diri dari jabatan Gubernur DKI.
Dan itu sah menurut undang-undang," kata Basarah di Silang Monas,
Jakarta, Sabtu (15/3/2014).
Ia menegaskan, meski begitu, tidak ada
satu pun pasal atau norma hukum yang dilanggar dalam pencapresan Jokowi
ini kendati nantinya melepaskan amanat jabatan gubernur yang baru
setahun dilaksanakannya. "Tidak ada satu pun pasal yang dilanggar ketika
memustuskan Jokowi sebagai capres," tegasnya.
Pengamat politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Zaki Mubarak sempat
memberikan penilaian. Bahwa secara etika, Jokowi harus mundur dari
jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta apabila PDIP menetapkannya
sebagai capres.
"Etika publik tentu tidak menghendaki seorang
kepala daerah 'bermain dadu' merebut jabatan lain sebelum pengabdiannya
selesai," kata Zaki.
Menurut Zaki, dalam konteks moralitas atau
etika publik, seorang kepala daerah dituntut untuk menjalankan tugas dan
kewajiban selama lima tahun. Namun, persoalannya saat ini dalam politik
Indonesia, moralitas sering kali bertabrakan dengan aturan hukum.
"Aturan hukum masih diskriminatif. Bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil)
ketika maju sebagai caleg harus mengundurkan diri. Tapi bagi anggota
DPRD atau kepala daerah yang maju tidak berlaku aturan harus mundur,"
tuturnya.
Menurutnya, bila Jokowi tidak mundur sebagai gubernur,
maka tindakannya memang tidak melanggar hukum. Namun, hal itu menabrak
etika karena melanggar sumpah jabatan. Selain itu, posisinya sebagai
gubernur juga berpotensi disalahgunakan.
Ia menambahkan, jika
Jokowi bersikeras tidak mau melepaskan jabatannya, Jokowi juga mengalami
kerugian besar dari segi legitimasi memerintah DKI Jakart. "Apabila
kalah dalam pemilihan presiden, Pak Jokowi bisa kembali sebagai
gubernur. Tapi di mata publik, Pak Jokowi sudah kehilangan legitimasi
moral," ujarnya.
Sumber :
tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar