Laman

Selasa, 17 September 2013

Ada Apa Dibalik Pencabutan SK Uang Kerahiman oleh Jokowi?

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) memutuskan mencabut Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor 193 Tahun 2010 tentang pedoman penggantian uang kerahiman oleh penggarap bangunan di atas lahan negara. Pencabutan SK Gubernur itu dilakukan Jokowi itu pada bulan lalu.
"Sudah dicabut dan disetujui pak gubernur, kira-kira satu bulan yang lalu," ujar Kepala Biro Hukum DKI Jakarta, Sri Rahayu, di Balai Kota Jakarta, Selasa (17/9/2013).
Dia menjelaskan, Jokowi mencabut SK itu setelah mendapat masukan dari wakilnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dengan dicabutnya SK tersebut, maka warga yang digusur karena menempati lahan negara jangan berharap lagi mendapat kompensasi berupa uang kerahiman.
Ahok mengusulkan pencabutan SK itu terkait program pengerukan belasan sungai yang masuk program Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI). Proyek ini mendapat suntikan dana dari Bank Dunia dan dikelola pemerintah pusat.
Sementara DKI, kebagian jatah melakukan pembebasan lahan di pinggiran sungai yang akan dikeruk. Dalam proses pembebasan lahan itu, DKI akan menggusur pemukiman warga yang berdiri ilegal di bantaran sungai.
Untuk proyek ini, kata Ahok, DKI menolak dapat pinjaman dari World Bank (Bank Dunia). Sebelumnya, Bank Dunia dalam syarat peminjaman, jika ingin mendapatkan kucuran, warga yang digusur harus mendapatkan uang kerahiman. Hal inilah yang ditolak Jokowi.
Karena proyek pembebasan lahan dilakukan dengan dana daerah, Jokowi menolak uang itu sebagian dipakai untuk ganti rugi lahan warga yang dibebaskan. Karena menurut Ahok, mereka penduduk ilegal dan bila DKI memberi uang kerahiman, maka turut jadi pelanggar hukum.
Menurut Ahok, dalam menjalankan program JEDI tetap menggunakan pinjaman dari Bank Dunia, tetapi langsung diurusi oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum. "Pemprov DKI hanyalah bertanggung jawab untuk membebaskan tanah," katanya.
Satu hal yang ditolak oleh Jokowi adalah pemberian pinjaman oleh Bank Dunia yang dipergunakan untuk ganti rugi lahan warga yang dibebaskan. Warga yang mendirikan bangunan di pinggir sungai itu telah melanggar peraturan yang ada.
"Awalnya, aturan pembebasan sungai itu, kita harus membayar uang kerahiman. Cara itu yang kita tolak ke Bank Dunia, dan itu mengajarkan kita untuk merusak orang," jelasnya.
Sebelumnya, masalah uang kerahiman ini juga mencuat ketika Pemprov DKI membebaskan lahan untuk kawasan ruang terbuka hijau di Waduk Ria Rio. Pemprov berencana memberi uang kompensasi berupa uang kerahiman sebesar Rp 1 juta kepada warga gusuran. Uang itu akan dicairkan oleh PT Pulomas Jaya, selaku pemilik tanah. PT Pulomas Jaya merupakan anak dari PT JakPro.
Masalahnya, waktu itu warga keberatan dengan besaran uang tersebut lantaran dianggap terlalu kecil. Seperti dikatakan salah satu warga RT 6 RW 15 Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulo Gadung, Sarjo (40). Menurut dia, pembongkaran rumah dilakukan oleh warga sendiri dan membutuhkan uang tidak sedikit.
"Sama ganti rugi bangunan cuma kerahiman Rp 1 juta belum nerima. Itu semua warga dijanjikan dari pihak PT Pulomas tapi belum diberikan. Kalau warga bisa Rp 5 juta. Rumah suruh bongkar masing-masing," terangnya.
Sedangkan menurut PT Polumas Jaya, selaku pemilik lahan di kawasan Waduk Ria Rio yang bakal dijadikan Ruang Terbuka Hijau (RTH) mengatakan, usulan uang kerahiman sebesar Rp 1 juta itu ditolak mentah-mentah oleh warga Pedongkelan RT 6 dan RT 7 RW 15, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur.
Menanggapi sikap keras warga, Corporate PT Pulomas Jaya, Nastasya Yulius berharap warga Pedongkelan tidak menyalahartikan uang kerahiman yang diberikan mereka berikan.
"Uang Rp 1 juta yang kami berikan ini bukan buat bayar ganti rugi mereka. Jadi kami memberikan uang ini untuk mereka mencari tempat tinggal sementara, seperti mengontrak dulu, sambil menunggu pembangunan rusun Pinus Elok, di Penggilingan Cakung, setelah itu mereka baru direlokasi," ujarnya saat ditemui wartawan, di kawasan Pulomas, Senin (27/8/2013).
Pria yang akrab disapa Inas ini menjelaskan, pihaknya sudah berupaya melakukan sosialisasi. Tapi usaha mereka terkendala beberapa oknum yang coba menghalang-halangi agar tak terjadi musyawarah. Oleh karena itu, Inas mengajak warga melakukan pertemuan terbuka yang didampingi pihak kecamatan.
"Mungkin ada warga yang menghasut, agar jangan mau diajak berunding. Makanya mereka selalu mengira dengan uang satu juta mereka harus meninggalkan rumahnya. Padahal tidak, mereka itu sudah disiapkan rusun kok buat ditempati, justru enakan," ujarnya.

Sumber :
merdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar