Dari hari ke hari, tampaknya semakin jelas siapa yang diinginkan rakyat
Indonesia untuk menjadi presiden di tahun 2014. Di kalangan partai
politik, nama Jokowi coba "dikesampingkan" ketika mereka bicara soal
presiden, namun nama ini secara tidak sadar berada di benak mereka.
Bagi
rakyat banyak - yang tampak dari media maupun jajak pendapat- terus
mengusung Gubernur DKI Jakarta ini untuk mau dicalonkan atau mencalonkan
diri. Memang masih ada berbagai "ujian" bagi Jokowi untuk melihat
apakah namanya akan terus berkibar sampai menjelang pemilihan tahun
depan.
Ujian terbesar tampaknya akan terjadi pada pemilu, apakah partainya, PDIP, mendapatkan suara cukup besar, diatas threshold sehingga bisa mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden tanpa tergantung dari partai lain.
Karena "pilihan" rakyat sudah semakin jelas, maka yang lebih penting
sekarang adalah mencari calon wakil presiden yang ideal untuk
mendampingi Jokowi. Menurut saya, calon ideal tersebut adalah mantan
wakil presiden semasa pemerintahan SBY yang pertama, Jusuf Kalla.
Ada tiga alasan menurut saya, mengapa Jusuf Kalla paling pantas.
Masalahnya adalah apakah Jusuf Kalla bersedia bagi jabatan tersebut
karena setelah menjadi wakil presiden, tokoh asal Sulawesi Selatan ini
mencalonkan diri sebagai presiden walau kemudian kalah dari Presiden
SBY.
Pertama, pengaruh Jusuf Kalla (JK) di
Golkar masih besar. Guna mendampingi Jokowi, banyak orang juga
mengusulkan kemungkinan Jokowi berpasangan dengan Dahlan Iskan (Menteri
BUMN) atau Mahfud MD (mantan ketua Mahkamah Konstitusi). Menurut saya,
guna mendampingi Jokowi diperlukan seorang tokoh yang berasal dari
partai besar. Walau Jusuf Kalla sudah tidak lagi menduduki jabatan
apapun di Golkar, namun karena pernah menjadi ketua partai berlambang
beringin tersebut ia pasti menyisahkan pengaruh.
Dahlan Iskan
dan Mahfud MD tidak memiliki dukungan partai politik cukup kuat. Golkar
sudah dipastikan akan mencalonkan ketuanya yang sekarang Aburizal
Bakrie, namun kepopuleran Ical sejauh ini membuatnya sulit untuk
terpilih karena berbagai bisnis masa lalunya seperti Kasus Lapindo.
Beban yang dibawa oleh Jusuf Kalla lebih kecil dibandingkan apa yang
disandang oleh Aburizal Bakrie. Bila JK mendampingi Jokowi, maka
nantinya di DPR, JK akan bisa menggunakan pengaruhnya di masa lalu untuk
membantu pemerintahan.
Kedua, pengalaman JK
sebagai Wakil Presiden. Selain keinginan beberapa kalangan agar Jokowi
berkonsentrasi dulu mengurus DKI, lawan politik sudah mengungkapkan
apakah Jokowi memiliki pengalaman cukup untuk melakukan negosiasi dengan
berbagai partai atau juga mewakili Indonesia di tingkat internasional.
Di
sini kembali Jusuf Kalla bisa berperan menjadi mentor Jokowi dalam
berbagai urusan ini, karena JK sebelumnya pernah lima tahun menjadi
wakil presiden. Dalam masa pemerintahan SBY-Kalla, peran Ketua PMI ini
hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh Wakil Gubernur DKI Basuki
(Ahok). Jusuf Kalla dan Ahok tidak sekedar menjadi ban serep namun
terlihat sangat aktif bekerja untuk menyelesaikan masalah yang ada.
Tidak diragukan bahwa kerja dua orang akan memberi hasil lebih baik dari
satu orang saja.
Ketiga, duet Jokowi-JK adalah
duet sipil. Di jaman Soeharto, Golkar dan PDI(P) adalah partai yang
berseberangan ideologi. Namun di jaman reformasi ataupun di pemilihan
presiden 2014, Jokowi bisa menggandeng Jusuf Kalla (yang mewakili unsur
Golkar) karena "lawan" yang mereka hadapi adalah partai berlatar
belakang "militer" Hanura (Wiranto), Gerindra (Probowo), dan Demokrat
(bila mereka mencalonkan Pramono Edhie). Sebagai partai sekuler, PDIP
dan Golkar juga menghadapi partai-partai dengan latar belakang Islam
seperti PKS, PPP, PBB atau PKB.
Faktor ketiga ini tidaklah
penting-penting sekali. Namun, setelah Presiden SBY (dengan latar
belakang militer) menjabat dua kali, sekarang ini untuk pertama kalinya
Indonesia memiliki calon presiden dengan latar belakang sipil yang kuat.
Saya mengusulkan kombinasi Jokowi-Jusuf Kalla. Apakah kombinasi ini
bisa dibalik dengan kombinasi Jusuf Kalla-Jokowi? Ini bisa saja terjadi,
tetapi faktor Jokowi akan ditentukan oleh keberhasilan PDIP dalam
meraih suara di pemilu, bukan faktor Jusuf Kalla di Golkar.
Bila PDIP mengusung Jokowi sebagai juru kampanye, dan partai kepala banteng ini mendapatkan suara melebihi threshold,
maka desakan rakyat terhadap PDIP untuk memilih mantan walikota Solo
tersebut akan sangat kuat. Kalau kemudian Jokowi bersedia jadi calon
presiden, maka dia memiliki kuasa besar untuk melakukan pilihan sendiri.
Sumber :
kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar