Laman

Rabu, 24 Juli 2013

Blusukan Jokowi Kalahkan Bung Karno

Di tengah sengatan matahari pagi, cacing itu merayap di atas jalan berusaha mencari tanah yang lebih basah. Cacing itu hampir saja terinjak oleh Presiden Sukarno yang sedang 'blusukan' ke sejumlah perkampungan dan persawahan di daerah Yogyakarta akhir 1946 lalu. Bung Karno yang pagi itu ditemani Ibu Negara Fatmawati memerintahkan satu pengawal mengambil cacing tersebut, dan memasukkan ke sawah. Sayang pengawal yang juga anggota polisi itu merasas jijik dengan cacing.
Bung Karno langsung memegang sendiri cacing itu dan memasukkannya ke sawah. Kemudian dia menghampiri sekumpulan petani yang tengah menanam padi. Dialog antara presiden pertama Indonesia dan rakyat itu pun berlangsung cair. Diselingi canda dan tawa. Mangil Martowidjojo, mantan Komandan Detasemen Kawal Pribadin Presiden, dalam buku Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967 mengatakan, Presiden Sukarno sering blusukan. Berbincang dengan rakyat jelata, di kampung maupun di tengah sawah.
Suatu hari Bung Karno berkata pada Mangil, "Yo, Mangil. Bapak ingin keluar sebentar. Bapak ingin melihat umpyeke wong golek pangan di Jakarta (Bapak ingin melihat kesibukan orang mencari rejeki di Jakarta)," Mangil menulis dalam bukunya.
*****
Seorang perempuan pedagang beras memberhentikan sebuah mobil Jip di Jalan Pakuningratan (Utara Tugu) Yogyakarta. Dia berniat menumpang sampai ke Pasar Kranggan. Sampai di Pasar Kranggan, si pedagang beras meminta sang sopir menurunkan semua dagangannya. Setelah selesai si perempuan berniat membayar jasa. Namun dengan halus, sang sopir menolak. Bukannya berterimakasih, si pedagang beras ini justru marah. Dengan nada keras dia bertanya,"Apa uangnya kurang?". Sang sopir justru langsung berlalu tanpa berkata apapun.
Kemarahan si pedagang beras memantik perhatian orang di pasar. Seorang polisi datang menghampiri dan bertanya kepada si pedagang. "Apakah mbakyu tahu, siapa sopir tadi?" tanya polisi. "Sopir ya sopir. Habis perkara! Saya tidak perlu tahu namanya. Memang sopir satu ini agak aneh." jawab si pedagang beras dengan nada tinggi.
"Kalau mbakyu belum tahu, akan saya kasih tahu. Sopir tadi adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, raja di Ngayogyakarta ini," kata sang polisi. Bagai disambar petir, sang pedagang beras itu pingsan. Dia tak menyangka yang baru saja membantu menaikan dan menurunkan barang dagangannya, adalah Sultan Hamengku Buwono IX.
Kisah ini dituliskan kembali oleh SK Trimurti, Dalam buku 'Takhta Untuk Rakyat'. Istri dari Sayuti Melik, -pengetik naskah proklamasi-, saat itu menjabat Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia, dan berada di Yogyakarta karena saat itu Ibu Kota dipindah ke Kota Gudeg tersebut.
*****
Kebiasaan melakukan incognito atau penyamaran juga kerap dilakukan Presiden Soeharto. Mantan Wakil Presiden Try Soetrisno dalam buku Pak Harto, The Untold Stories mengisahkan, saat blusukan, Soeharto hanya ditemani ajudan, satu atau dua pengawal dan dokter pribadi. "Pak Harto selalu berpesan tidak boleh ada satu pun yang tahu kalau Pak Harto mau melakukan incognito," Try menulis. Saat menyamar, Pak Harto selalu membawa makanan sendiri. Makanan itu dimasak oleh Ibu Tien Soeharto. Menunya sederhana sambal teri dan kering tempe. Presiden kedua Indonesia itu selalu makan bersama ajudan dan pengawalnya.
*****
Tahun ini, selain Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau Jokowi tercatat banyak pejabat sering melakukan blusukan. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan misalnya, bulan lalu menginap di rumah salah satu penduduk di Karangpandan, Karanganyar, Jawa Tengah. Dia melihat langsung kiprah petani sayur dan peternak di daerah tersebut. Menteri Perekonomian Hatta Rajasa juga sering blusukan ke pasar-pasar.
Namun menurut pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia Ari Junaedi, di mata masyarakat label blusukan sudah terlanjur melekat pada diri Jokowi. "Karena dilihat tujuannya murni untuk rakyat, bukan untuk pencalonan presiden," kata Ari kepada Detik tadi pagi. Menurut Ari, blusukan yang dilakukan tokoh lain seperti Aburizal Bakrie, Gita Wirjawan dampaknya tidak akan bergema seperti Jokowi.
Masyarakat juga menaruh harapan karena Jokowi berupaya melakukan perubahan setelah blusukan.Jiwanya murni ingin blusukan. "Beda dengan yang lain ya istilahnya follower," kata Ari. Memang budaya blusukan juga sudah dilakukan Presiden Sukarno, Presiden Soeharto, dan Sultan Hamengku Buwono IX. Namun Ari melihat cara Jokowi lebih efektif dan mengena ke masyarakat. Dia mencontohkan aksi blusukan Jokowi ke beberapa tempat di Jakarta, seperti Tanah Merah, rumah susun sederhana sewa Marunda, dan Waduk Pluit.
Meski masih sedikit, hasil blusukan Jokowi sudah bisa dirasakan masyarakat. "Metode Jokowi yang pas," kata Ari. Bahkan meski mendapat kritik dari sejumlah pengamat, termasuk Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) terkait anggaran yang mencapai Rp 26,6 miliar per tahun, menurut Ari hal itu tidak akan berpengaruh kepada masyarakat. “Saya kira masyarakat tahu karena melihat dan merasakan langsung metode belusukan Jokowi," tambah Ari.


Sumber :
detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar